Rabu, 03 November 2010

Suku Aceh

SUKU ACEH



Makalah diajukan untuk Ujian Akhir Semester (UAS)
Pengantar Ilmu Peradaban


Dosen Pembimbing:

Dwi Susanto, MA.









Oleh :

Muhammad Nur Salim  : A02209016
                                     




JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
IAIN SUNAN AMPEL  SURABAYA
2010

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan hidup yang berbeda-beda pula. Kebiasaan hidup itu menjadi budaya serta ciri khas suku bangsa tertentu. Demi persatuan dan kesatuan, seharusnya kita menyadari dan menghargai keanekaragaman tersebut sehingga dapat menjadi satu bangsa yang tangguh. Dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, kita jadikan keragaman suku bangsa dan budaya sebagai salah satu modal dasar dalam pembangunan. Makalah ini akan membahas salah satu dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, yaitu suku yang berada di ujung pulau Sumatera,di propinsi Aceh, yakni suku Aceh.
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah sebuah propinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali, yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue. Propinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Tamiang, Gayo, Alas, Kluet, Singkil, Pakpak, Aneuk Jamee, Sigulai, Lekon, Devayan, Haloban dan Nias. Makalah ini akan membahas khusus untuk suku Aceh, mulai dari letak geografis dan demografi, asal-mula dan sejarah suku Aceh, bahasa daerah, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem sosial, kesenian dan sistem religi.



PEMBAHASAN

1.      Letak Geografis dan Demografi.
Penduduk Aceh dibentuk oleh beberapa kelompok etnis atau suku bangsa, dengan kelompok suku Aceh merupakan penduduk mayoritas di propinsi Daerah Istimewa Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam. Walaupun kelompok suku ini telah menyebar ke seluruh pelosok Aceh, namun pada kenyataannya kelompok ini mendominasi penduduk daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dann Aceh Selatan. Di samping kelompok suku Aceh, terdapat kelompok-kelompok suku yang lain seperti orang Gayo yang terpusat di dataran Tinggi Gayo ( Aceh Tengah); orang Alas yang terpusat di dataran tinggi Alas ( Aceh Tenggara); orang Aneuk Jamee yang terpusat di kecamatan Samadua, Labuhan Haji, Susoh, Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat; orang Tamiang yang bermukim di daerah Tamiang (Aceh Timur); orang Siemeulue yang terpusat di Pulau Siemeulue dan beberapa pulau kecil lainnya di sekitarnya serta orang Kluet yang terpusat di Aceh Selatan. Secara geografis kelompok-kelompok suku Aceh , Aneuk Jamee, dan Tamiang bermukim di daerah pesisir; kelompok suku Gayo dan Alas mendiami daerah pedalaman; sedangkan kelompok suku Siemeulue bermukim di daerah kepulauan.[1]

Selain kelompok-kelompok etnis yang merupakan penduduk asli, terdapat beberapa kelompok etnis lain yang merupakan penduduk pendatang, antara lain orang Batak, Jawa, Minangkabau, Ambon, dan Minahasa. Sedangkan bangsa lain yang menetap di Aceh adalah orang Cina, yang pada umumnya bermukim di Kotamadya Banda Aceh dan beberapa kota kabupaten lainnya. Orang-orang Cina ini membuat daerah pemukiman sendiri, namun kehidupan sehari-hari mereka bisa membaur dengan penduduk asli. Bahkan, diantara mereka ada yang memeluk Islam dan melakukan perkawinan campur dengan penduduk setempat.[2]

2.      Asal mula dan Sejarah Suku Aceh.

Suku bangsa ini dalam kitab Sejarah Melayu disebut Lam Muri, Marcopolo yang singgah disana menyebutnya Lambri. Para penjelajah Portugis menyebutnya Akhir. Para penulis asing lain menyebutnya Achinese, Achehnese, Atchinese, Achin, Asji, A-tse, Atjeher. Dan orang aceh sendiri menyebut dirinya Ureung Aceh. [3]

            Menurut sejarah yang ditulis dalam hikayat-hikayat, nenek moyang orang Aceh berasal dari Siam (Muangthai). Hal ini berdasarkan hikayat Aceh , bahwa raja-raja kerajaan Peureulak merupakan keturunan raja-raja Siam.[4] Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembaharuan beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di sumatera, yaitu Arab, India, Parsi, Turki, Melayu, Minangkabau, Batak, Nias, Jawa dan lain-lain. Suku bangsa Aceh boleh berbangga karena daerah mereka adalah pintu gerbang pertama masuknya Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke 12-14 Masehi. Pada Zaman dulu Aceh juga menjadi tempat persinggahan jamaah Haji Nusantara sewaktu pergi dan kembali berlayar dari Mekkah, sehingga dijuluki Serambi Mekkah. Pada Zaman dahulu masyarakat Aceh terbagi-bagi  menjadi sejumlah kerajaan kecil, seperti Indrajaya, Indraputri, Indrapatra, Pasei, Benua, Daya, Peureulak, Idi, Pidie, Meulaboh, Linge, dan lain-lain. Seluruh kerajan tersebut akhirnya disatukan oleh Kesultanan Aceh Darusalam. Mereka juga terkenal sebagai bangsa yang gigih menentang kolonialisme Belanda dalam perang yang lama dan melelahkan.[5]

3.      Bahasa.

Bahasa Aceh adalah bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan di Aceh, dominan di sebagian besar wilayah pesisir ujung utara Sumatera. Bahasa Aceh memiliki hubungan erat dengan kelompok bahasa Cam di Kamboja dan Vietnam. Berikut adalah fonem-fonem bahasa Aceh.

Vokal



mulut
mulut
mulut

i
ĩ
ɨ
ɨ̃
u
ũ

e
ɛ̃
ə
ʌ̃
o
ɔ̃

ɛ
ʌ
ɔ



a
ã



Vokal biasanya berada di pasangan mulut/sengau, meskipun hanya ada tiga vokal sengau pertengahan dan ada vokal oral pertengahan yang jumlahnya dua kali lebih banyak. /ʌ/ tidak benar-benar di tengah, meskipun ditampilkan di sini karena alasan estetika. Demikian pula, /ɨ/ juga ditampilkan sebagai ([ɯ] yang lebih ke belakang. Selain vokal monoftong di atas, bahasa Aceh juga memiliki 5 diftong oral, masing-masing dengan pasangan sengau.
  • /iə ɨə uə ɛə ɔə/
  • /ĩə ɨ̃ə ũə ɛ̃ə ɔ̃ə/
Huruf vokal sengau:
  • 'A 'a pengucapannya sengau seperti /a/ dalam kata “maaf”; contohnya: 'ap (suap), meu'ah (maaf)
  • 'I 'i pengucapannya sengau seperti /i/ dalam kata “angin”; contohnya: ca’ië (laba-laba), kh’iëng (busuk),
  • 'U 'u pengucapannya sengau; contohnya: meu'uë (bajak).
Konsonan

m
n
ɲ
ŋ

p b
t d
c ɟ
k g
ʔ

s
ʃ

h
w
l
j



r



/s/ adalah alveodental laminal. /ʃ/ secara teknis berupa post-alveolar tapi dikelompokkan dalam kolom langit-langit untuk alasan estetika.

Contoh:

  • Peue haba? = Apa kabar?
  • Haba gèt = Kabar baik.
  • Agam ngön inöng = pria dan wanita
  • Lôn = saya.[6]
Bahasa Aceh termasuk rumpun bahasa Austronesia, sub rumpun bahasa Hesperonesia. Penutur bahas ini diperkirakan berjumlah sekitar 2,5 juta jiwa yang tersebar di lima kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Bahasa Aceh terbagi menjadi beberapa dialek, seperti, dialek Pidie, Meulaboh, Matang, Aceh Besar, dan Tunong. Aksara yang pernah berkembang dalam masyarakat ini adalah tuliasan Arab-Melayu yang mereka sebut tulisan jawoi.[7]

4.      Sistem Teknologi.
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).[8]

Rencong (reuncong) adalah senjata tradisional suku Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang). Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.[9]

Selain itu ada jenis senjata tradisonal yang berupa pedang yang penggunaanya disesuaikan denga kedudukan atau status pemakainya, seperti pedang daun tebu dan oo ngom yang biasa digunakan oleh panglima-pangliam perang , serta pedang reudeuh unutk para prajuit kerajaan.[10]

Pakaian tradisonal suku Aceh memiliki seperangkat pakaian adat lazim dikenakan dalam penyelengaraan upacara-upacara adat. Pakain adat ini dibedakn atas pakaian yang dikenakan kaum pria dan wanita. Unutk kaum pria, mereka mengenkan pakian adapt yang terdiri atas jas dengan leher tertutup (biasa disebut jas tutup). Jenis pakian ini tampaknya mendapat kebudayaan dari barat. Selain itu dikenakan celana panjang (disebut cekak musang), kain sarung (pendua), kopiah (makutup), serta sebilah rencong yang diselipkan pad bagian perut. Sedangkan unutk pakaian wanita terdiri dari baju panjang sampai ke pinggul, celan apnjang  (cekek musang), dan kain sarung (pendua), sebagai pelengkap pakaian dikenakan beberapa perhiasan sperti, kalung (kula), ikat punggang (pending), gelang tangan dan gelang kaki.[11]


5.      Sistem Mata Pencaharian.

Masyarakat ini sebagian besar hidup dari mata pencaharian bertani padi di sawah atau ladang. Sebagian ada pula yang berkebun kelapa, cegkeh, kopi, lada, kelapa sawit dan lain-lain. Mereka yang berdiam di pesisir pantai atau sungai umumnya bekerja sebagi nelayan. Pekerjaan-pekerjan tersebut mengunakan peralatan sederhana seperti cangkoi (cangkul), langai (bajak yang ditarik kerbau atau sapi), creuh (sikat untuk meratakan sawah), sadeub (sabit), dan gleem (ani-ani).[12]



6.      Sistem Sosial.

Bentuk kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti, karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah bilineal dan bilateral. Kelompok kerabat yang paling menonjol adalah keluarga luas uksorilokal, yaitu pengelompokan keluarga di lingkungan pihak perempuan. Karena setelah kawin anak akan tinggal beberapa bulan di rumah orang tuanya, tapi biasanya segera akan membentuk rumah tangga sendiri dekat lingkungan pihak istri.[13]

Pada masa dulu masyarakat Aceh mengenal beberapa pelapisan sosial. Di antaranya ada empat yang masih dikenal, yaitu: golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat jelata. Bangsawan keturunan sultan yang laki-laki dipanggil ampon dan yang perempuan dipanggil cut. Golongan uleeblang adalah keturunan bawahan sultan yang biasanya bergelar teuku.[14]

Pada hakikatnya masyarakat Aceh terikat oleh tata karma atau etika yang tentunya berlandaskan ajaran Islam. Tata krama pergaulan suku Aceh yang sampai sekarang masih dipegang teguh adalah tidak diperboehkan memegang kepala orang lain, baik yang  usianya lebih muda apalagi yang lebih tua usianya, karena hal ini dianggap sebagai suatu penghinaan atau menganggap rendah martabat orang lain, saling mengucapkan salam bila bertemu atau berkunjung, bertutur kata santun dan lemah lembut kalau berbicara dengan orang lain, terutama kepada yang lebih tua.[15]

Sebagai sarana komunikasi sosial, orang Aceh mengembangkan semacam suguhan “kapur sirih”. Seseorang yang bertamu pertama-tama mendapat suguhan ini, baru ditawarkan minuman. Orang Aceh juga mengembangkan nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong-royong. [16]

7.      Kesenian.

Kesenian Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaa Islam, namun telah dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan sosial budaya Aceh sendiri. Seni Kaligrafi Arab banyak juga berkembang di daerah ini, seperti terlihat pada berbagai ukiran dan pada relief masjid, rumah dan surau mereka.[17]  

Unsur kesenian yang paling menonjol dari suku Aceh adalah seni tari dan bela diri. Beberapa jenis tarian yang terkenal adalah:
1. Tari Seudati, nama tarian ini berasal dari kata Syahadat, yang berarti saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah. Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.[18]
1.      Tari Ranub Lam Puan, yaitu tarian kehormatan dalam menyambut tamu. Tari ini dimainkan oleh gadis-gadis dengan pakaian adat Aceh sambil menyuguhkan “ranub” (peringkat sirih) kepada tamu.

2.     
Saman, tari yang dibawakan dengan diiringi syair-syair berisikan ajaran-ajaran kebajikan. Dilakukan dalam posisi duduk berbanjar, dengan irama dan gerak tari yang dinamis. Tarian ini terdapat di Aceh tenggara, Tarian serupa tapi tidak sama juga terdapat di Aceh Tengah dengan nama didong.
3.      Rapa’i, yaitu satu-satunya kesenian yang memakai musik semacam rebana besar. Rapa-i dimainkan sambil berdzikir. Rapa’i Pase bentuknya lebih besar dan ditabuh dengan tangan sambil digantung. Di Aceh barat terdapat Rapa’i Geleng yang merupakan perpaduan antara rapa’I dengan saman.

Seni bela diri tradisional yang terkenal dari Aceh adalah pencak silat. Kesenian ini merupakan perpaduan antara seni tari dan seni olah tubuh. Tidak saja orang laki-laki yang boleh membawakan seni bela diri ini, juga banyak kaum wanita yang melakukannya untuk melatih gerak dan kelenturan tubuh serta membangkitkan keberanian. Pencak silat diajarkan sejak masa kanak-kanak dan biasanya pengajarnya menjadi satu dengan pengajaran mengaji di surau-surau atau masjid.[19]


8.      Sistem Religi.

Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktek kepercayaan animisme dan dinamisme. Ada orang–orang tertentu yang biasa mempraktekkan guna-guna atau ilmu gaib dan kelompok masyarakat yang menjalankan beberapa uapacara tradisional yang bukan berasal dari agama Islam, seperti kenduri blang dan kenduri laut. Kenduri blang adalah upacara kesuburan yang biasa dilakukan setiap tahun oleh masyarakat petani Aceh dan Gayo. Sedangkan kenduri laut atau upacars turun ke laut diadakan oleh para nelayan  Aceh dalam rangka meminta restu kepad Penguas Laut. Upacara ini masih dapat ditemukan pada masyarakat desa Ujong Pusong dan Ujong Blang di kabupaten Aceh Barat. Biasanya seekor kerbau, kepalanya dibuang ke laut, sedangkan dagingnya dimasak untuk kenduri setelah upacara selesai.[20]

 Orang Aceh menganggap dirinya identik dengan Islam. Oleh sebab itu dalam kehidupan mereka hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan agama merupakan suatu hal yang paling sensitive, sehingga bagi masyarakat Aceh pada umumnya, yang paling menyinggung perasaan atau dianggap sebagi penghinaan adalah kalau seseorang disebut” kafir”. Kendati yang bersangkutan belum tentu taat beribadah atau bahkan tidak bertingkah laku sebagai seorang muslim, namun kalau disebut kafir pasti akan berakibat panjang.[21]









































PENUTUP

            Suku Aceh adalah salah satu suku bangsa Indonesia yang merupakan penduduk mayoritas propinsi Nangro Aceh Darussalam (Daerah Istimewa Aceh). Walaupun kelompok suku ini telah menyebar ke seluruh pelosok Aceh, namun pada kenyataannya kelompok ini mendominasi penduduk daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dann Aceh Selatan. Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembaharuan beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu Arab, India, Parsi, Turki, Melayu, Minangkabau, Batak, Nias, Jawa dan lain-lain. Pada Zaman dahulu masyarakat Aceh terbagi-bagi  menjadi sejumlah kerajaan kecil, seperti Indrajaya, Indraputri, Indrapatra, Pasei, Benua, Daya, Peureulak, Idi, Pidie, Meulaboh, Linge, dan lain-lain. Seluruh kerajan tersebut akhirnya disatukan oleh Kesultanan Aceh Darusalam. Mereka juga terkenal sebagai bangsa yang gigih menentang kolonialisme Belanda dalam perang yang lama dan melelahkan. Bahasa tradisional Aceh termasuk rumpun bahasa Austronesia, sub rumpun bahasa Hesperonesia. Rencong merupakan senjata tradisional yang terkenal suku Aceh. Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang fanatik dan taat. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktek kepercayaan animisme dan dinamisme. Kesenian yang menonjol dari suku ini adlah bela diri dan seni tari.



  
















DAFTAR PUSTAKA


Hidayah, Zulyani. 1996. Ensiklopedi: Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES.

Tamin, Feisal. 1992. Profil Propinsi Republik Indonesia: Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara.









[1] Feisal Tamin, Profil Propinsi Republik Indonesia: Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1992) Hal. 109
[2] Ibid, Hal. 110
[3] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi: Suku Bangsa di Indonesia (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1996) Hal. 2
[4] Feisal Tamin, Hal.113
[5] Zulyani Hidayah, Hal. 3
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Aceh
[7] Zulyani Hidayah, Hal. 4
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Rencong
[10] Feisal Tamin. Hal.116
[11] Ibid, Hal.113-114
[12] Zulyani Hidayah, Hal. 3
[13] Zulyani Hidayah. Hal. 4
[14] Ibid.
[15] Feisal Tamin. Hal. 111
[16] Ibid.
[17] Zulyani Hidayah. Hal. 5
[18] http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Seudati
[19] Feisal Tamin. Hal. 115
[20] Zulyani Hidayah. Hal. 4-5
[21] Feisal tamin. Hal. 111-112

Sejarah Daulah Umayyah 2

SEJARAH BERDIRI DAULAH AMAWIYAH II DI ANDALUSIA


Makalah diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Islam Kawasan Afrika-Andalus

Dosen Pengampu
Drs. Abdul Jalil, M. Pd.





 
















Oleh:

Muhammad Nur Salim (A02209016)
Erma Mulidia                            (A02209017)




JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2010





Sejarah Berdiri Daulah Amawiyah II Di Andalusia (705-1031 M)

A.     Kedatangan Islam di Bumi Spanyol

Sebelum kedatangan umat Islam, kawasan yang masuk dalam daerah Iberia tersebut berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hispania, yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Awal kedatangan pasukan Islam di Spanyol berawal saat datangnya kabar dari Julian, gubernur wilayah Ceuta, yang memohon kepada Musa bin Nusair, raja muda yang menjabat gubernur dari Kekhalifan Umayyah di wilayah Afrika Barat Laut, untuk memerdekakan negerinya, karena negerinya, Andalusia, dilanda kekacauan yang hebat. Atas perintah raja muda tersebut, yang berada di bawah pemerintahan kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus, diutuslah Thariq bin Ziyad, salah seorang panglima perangnya. Thariq, yang membawa kurang lebih 7.000 pasukan, mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara. Setelah mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete pada 711 M, kekuasaan Islam terus berkembang hingga tahun 719 M. Daerah yang dikuasai kaum muslimin ini disebut Provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol, Portugal, dan Prancis bagian selatan sekarang.[1]

Sejarawan Barat beraliran konservatif, W. Montgomery Watt, dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol, mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai umat Islam sebagai yang suka berperang. Menurutnya, “Mereka (para orientalis) umumnya mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat Islam. Seolah-olah seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya, yaitu antara Islam dan pedang. Padahal, bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh suatu pemerintahan Islam.” Peperangan dalam Islam adalah untuk menghidupkan manusia, bukan untuk memusnahkan. Itu sebabnya, ketika kaum muslimin menang perang dan menguasai suatu wilayah, mereka tidak bertujuan menjajahnya.[2]

Andalusia adalah nama bagi Semenanjung Iberia pada zaman kejayaan Umayyah. Nama Andalusia berasal dari Vandal, yang berarti negeri bangsa Vandal, karena Semenanjung Iberia pernah dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum terusir oleh bangsa Ghotia Barat (abad ke-5 M). Umat Islam mulai menaklukkan Semenanjung Iberia pada zaman Khalifah Al-Walid Ibn Abd Al-Malik (86-96 H/705-715 M). Ekspansi pasukan muslim Semenanjung Iberia (Andalusia) gerbang barat daya Eropa merupakan serangan terakhir yang paling dramatis dari seluruh operasi militer penting yang dijalankan oleh orang-orang Arab. Serangan itu menandai puncak ekspansi muslim ke wilayah Afrika-Eropa seperti halnya penaklukan Turkistan yang menandai titik terjauh ekspansi ke kawasan Mesir-Asia.[3]

           
B.     Pendirian Bani Umayah di Andalusia.

            Dinasti yang didirikan oleh Abdur Rahman I, yang dijuluki Ad-Dakhil bertahan selama dua tiga perempat abad (756-1031). Dinasti ini mencapai puncaknya dibawah pemerintahan amir kedelapan, Abdur Rahman III (912-961) yang terkuat dan menjadi yang pertama yang menyandang gelar Khalifah. Selama periode Umayah, Kordova di Spanyol tetap menjadi ibukota dan menikmati periode kemegahan yang tiada taranya, seperti pesaingnya di Irak, Bagdad.

Berdirinya dinasti Amawiyah II dilatarbelakangi oleh pembantaian keluarga daulah Umayyah I di Damaskus oleh daulah Abbasyiyah di Baghdad pada tahun 750 M.[4] Dalam pembantain tersebut salah seorang anggota dari bani Umayyah yang bernama Abdurrahman ad-DaKhil berhasil lolos dari pembantaian tersebut. Abdurrahman bin Muawiyah juga disebut sebagai Abdurrahman ad-Dakhil (bahasa Arab: Abdurrahman yang masuk). Mengembara bersama pengawal pribadinya setelah jatuhnya Bani Umayyah sampai ke Al-Andalus atau Spanyol sekarang. Setibanya di sana, ia mengumumkan tentang keadaan pergolakan dan pergeseran tampuk kekuasaan di benua Arab. Dengan itu, pemerintahan Islam di Spanyol mendeklarasikankan pemisahan dengan Khilafah Bani Abbasiyah dan melantik Abdurrahman I sebagai Amir untuk pemerintahan Islam Spanyol.[5]

Ad-dakhil berhasil mendapat dukungan politik dari istana bani Rustam di Tahort, Afrika Utara, sehingga dapat menyusup memasuki kota Algaciras pada tahun 755 M. Pada tahun berikutnya dimulailah masa pengakuan atas kemenangan ad-Dakhil dengan menguasai kota-kota Sevilla, Archidon. Sidonia, dan Moron de la frontura.[6] Pada tahun ini juga tepatnya pada tanggal 15 Mei ad-Dakil memproklamirkan berdirinya daulah Amawiyah II di Andalus.[7] Sebelum ad-Dakhil melakukan ini ternyata ada juga beberapa gubenur di Andalusia khususnya saat di pegang oleh Yusuf bin Abdurrahman Al-fikhry dari suku Mudari, telah melakukan aviliasi atau tunduk di bawah kekuasaan bani Abbas di Baghdad, walaupun pada akhirnya mereka melakukan bai’at kepda ad-Dahil. Sehingga secara resmi dimulailah kekuasaan yang kedua dari bani Umayyah sebagai negara yang berdiri sendiri, berdaulat, lepas dari Abbasiyah di Baghdad.[8] Pada pemerintahan ad-Dakhil beliau lebih suka menyebut dirinya sebagai ammirulmukminin dari pada khalifah. Dengan terbentuknya daulah Amawiyah II ini ad-Dakhil menyerukaan kepada masyrakat pada setiap sholat jumat untuk tidak lagi menyebutkan khalifah pada masa daulah Abbasiyah di Baghdad, sebagai suatu realitas dalam membuktikan adanya  pelepasan kepemimpinan baik secara realitas maupun secara formal politik, yang mana mereka berasal dari 3 komunitas politik pada saat itu, yaitu: 1. para pendukung ad-Dakhil sendiri 2. para penguasa daerah(amir) dan kepala suku daerah yang telah ditaklukan; dan 3. seluruh masyarakat dari pelosok daerah.[9]

Abdurrahman bin Mu'a wiyah memasuki wilayah Andalusia ini antara lain karena adanya perselisihan di antara kabilah-kabilah, khususnya masalah intern kabilah Arab dari Qais dan Yaman yang tidak setuju terhadap kepemimpinan Yusuf bin Abdulrrahman al-Fihr. Abdulrrahman bin Muawiyah juga mendapat dukungan dari warga Umayah yang telah tinggal di Andalusia di samping dari dukungan Yaman yang sedang bertikai dengan Yusuf din Abdulrrahman at- Fihr. Abdulrrahman III menjadikan Andalusia suatu kekhalifahan dengan khalifah yang bergelar Amirulmukminin (912-1031). Gelar khalifah selanjutnya di pergunakan oleh pengganti- penggantinya sampai akhir masa pemerintahan Bani Umayyah. Setelah berakhinya Bani Umayyah (1031 ), Andalusia pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang lazim disebut Muluk at- tawa'if (raja- raja kelompok/ golongan ).





DAFTAR PUSTAKA


Menocal, Maria Rosa. Sepotong Surga di Andalus. Bandung: Mizan Media Utama. 2005.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2008.

Thohir Ajid. Perkembangan Peradaban Dikawasan Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
www.wikipedia.com.



[1] http://www.majalah-alkisah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=447%3A-islam-
[2] http://orgawam.wordpress.com/2010/03/13/bani-umayyah-di-spanyol/
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 113
[4] Maria Rosa Menocal, Sepotong Surga di Andalus (Bandung:Mizan Media Utama,2005) hlm. 7
[6] AjId Thohir, Perkembangan perdaban dikawasan dunia islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 2
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.hlm,4