Rabu, 27 April 2011

Dinasti Thuluniyah, Ikhsidiyah, Dan Hamdaniyah


DINASTI DINASTI KECIL DI BARAT BAGHDAD
( Dinasti Thuluniyah, Dinasti Ikhsidiyah, Dinasti Hamdaniyah )

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Peradaban Islam 3


Dosen Pengampu

Drs. M. Ridwan, M.Ag.
Muzaiyanah, M.Fil.I

Oleh :




Muhammad Nur Salim            (A02209016)


JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2011

PENDAHULUAN

            Dinasti- dinasti kecil di sini yang dimaksud adalah semua wilayah yang biasanya dikepalai oleh seorang wali atau amir ( gubernur ) atas penunjukkan pemerintah pusat Baghdad. Hubungan antara keduanya secara struktural bersifat vertikal- konsultatif. Wilayah menjalankan pemerintahannya sejalan dengan pemerintah pusat. Wilayah harus mengirimkan pajak tahunan kepada pusat dalam jumlah yang sudah disepakati. Selanjutnya pusat memberikan jaminan otonomi terhadap wilayah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, wilayah tersebut sedikit demi sedikit memperoleh otonomi penuh atau sengaja melepaskan diri dari pemerintahan pusat ( disintegration ) sehingga oleh para sejarawan disebut dinasti- dinasti kecil ( smaller dynasties ). 

            Oleh karena dinasti- dinasti baru tersebut secara geografis terletak di sebelah Barat dan Timur pemerintahan pusat ( Baghdad ), maka sebagian sejarawan menyebutnya dinasti- dinasti kecil di Barat dan Timur Baghdad. Sejarawan lain menyebutnya dinasti- dinasti Persia, dinasti- dinasti Turki, dan dinasti- dinasti Arab yang melihat berdasarkan atas asal- usul etnis dan wilayah kekuasaannya. Sementara sejarawan lain melihatnya dari satuan wilayah kekuasaannya; Mesir, Afrika Utara, Spanyol, atau Iran.

            Dalam makalah sederhana ini penulis menggunakan klasifikasi pertama, yaitu dinasti- dinasti dibagi menjadi dua kelompok besar; Barat dan Timur Baghdad. Kelompok Barat meliputi dinasti- dinasti Idrisiyah, Aghlabiyah, Thuluniyah, Iksidiyah, dan Hamdaniyah. Pembahasan dalam makalah ini hanya fokus pada tiga dinasti saja, yakni Thuluniyah, Ikhsidiiyah, dan Hamdaniyah. Bagaimana latar belakang berdirinya, proses perkembangan dan kehancuran serta hal- hal penting lainnya akan diuraikan sebagaimana berikut.
  


DINASTI-DINASTI KECIL DI BARAT BAGHDAD

A. Dinasti Thulun
iyah ( 868- 901 M ).

            Dinasti Thuluniyah mewakili dinasti lokal pertama di Mesir dan Suriah yang memperoleh otonomi dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun. Ahmad Ibn Thulun seorang prajurit Turki. Seperti orang- orang Turki lainnya, ia memperoleh peluang besar untuk menjabat di lingkungan istana. Ayah Ibn Thulun menjabat sebagai komandan pegawai istana. Ibn Thulun sudah barang tentu dibesarkan di lingkungan militer yang keras dan ketat. Inilah yang melatarbelakangi garis politik Ibn Thulun selanjutnya.[1]

            Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai sosok yang gagah dan berani, dia juga seorang yang dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra, syariat dan militer.[2]

            Pada mulanya, Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah disana, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah.[3] Pada abad ke 9 Masehi menjadi kebiasaan para wali ( gubernur ) untuk tetap tinggal di istana Baghdad, sementara tugasnya dilaksanakan oleh para wakilnya. Tahun 868 M, Ibn Thulun dikirim ke Mesir sebagai wakil wali. Karena ia bekerja secara efisien, populer dan bersedia tinggal di Mesir maka para gubernur Mesir berikutnya tidak menggantikannya. Pada tahun ini dia resmi diangkat oleh khalifah al-Mu’taz sebagai wali Mesir. Di saat Baghdad mengalami krisis yang menyebabkan khalifah al- Mu’taz meninggal, Ibn Thulun memanfaatkan situasi ini untuk melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad.[4]

            Dalam membangun negerinya mula- mula ia menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Setelah situasi relatif stabil, beralihlah perhatiannya kepada pembangunan bidang ekonomi, irigasi diperbaiki, pertanian ditingkatkan, perdagangan digiatkan sehingga pemasukan meningkat. Kemudian dalam bidang keamanan dia membangun angkatan perang dari oarng- orang Turki Negro dan lainnya. Dengan kuatnya militer, Ibn Thulun melakukan ekspansi ke Syam.[5]

            Setelah Ibn Thulun, kepemimpinan Mesir dilanjutkan oleh keturunannya, Khumarawaih, Jaisy, Harun dan terakhir Syaiban. Di bawah kepemimpinan Khumarawaih, dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Khalifah al Mu’tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah kekuasaan pada Thuluniyah meliputi Mesir, Suriah, sampai gunung Taurus dan Mesopotamia, kecuali Mosul. Untuk menjalin hubungan baik dengan pemerintah Abbasiyah, khalifah al Mu’tadid dinikahkan dengan putri Khumarawaih.[6]

            Pada akhir pemerintahan Khumarawaih dinasti ini tampak mulai melemah karena kemewahan hidup Khumarawaih sendiri dan ketidakmampuannya mengendalikan administrasi dan tentara. Setelah dia meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh putranya, Jaisy yang hanya memerintah satu tahun. Jaisy digulingkan oleh saudaranya, Harun yang kemudian memerintah selama sembilan tahun. Kemudian Harun tewas ketika meletus pemberontakan di Mesir. Pemerintahn berikutnya dipegang oleh pamannya, Syaiban yang hanya memerintah beberapa bulan. Pada tahun ini juga dinasti Thuluniyah kembali direbut oleh pemerintahn Abbasiyah. Ketidakmampuan wali terakhir Thuluniyah mengendalikan sekte- sekte Qaramithi di gurun Syiria membuat khalifah mengirimkan tentara untuk menaklukkan Syiria dan kemudian merebut Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke Baghdad. Setelah ditaklukkan , dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.[7]

            Dinasti Thuluniyah juga ikut dalam memperkaya peradaban Islam. Contoh kemajuan prestasi dinasti Thuluniyah adalah dalam bidang arsitektur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun yang megah, pembangunan rumah sakit yang memakan biaya cukup besar sampai 60.000 dinar, dan bangunan istana al Khumarawaih dengan balairung emasnya. Kemajuan prestasi bidang lainnya adalah di bidang militer. Thuluniyah mempunyai 100.000 prajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa Negro. Thuluniyah membangun benteng- benteng yang kokoh di atas pulau ar Raudah. Pada masa itu juga banyak dibangun irigasi sebagai sarana pertanian yang terletak di lembah sunagi Nil.[8]  

           
B. Dinasti Iksidiyah ( 935- 965 M ).

            Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang diberi gelar al- Ikhsidi (pangeran) pada tahun 935 M. Muhammad Ibn Tughi adalah perwira Turki yang diangkat menjadi seorang gubernur di Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaaan wilayah Nil dari serangan Fatimiyah yang berpusat di Afrika Utara.[9]

            Strategi pertama yang ia lakukan adalah memperkokoh angkatan perang dan mengajukan permohonan perluasan wilayah kekuasaan dengan syarat dia tetap tunduk dan setia pada Baghdad. Akhirnya, permohonan tersebut dikabulkan. Dia diberi wewenang wilayah Syam, disamping semakin memperoleh kepercayaan, baik dari masyarakat maupun khalifah karena keberhasilannya dalam mengembangkan perekonomian rakyat dan mengatasi gerakan Fatimiyah.[10]

            Sewaktu Iksidi wafat, kedua putranya belum dewasa. Oleh karena itu, kekuasaan dilimpahkan kepada gurunya, Kafur al Ikhsidi. Kafur memproklamirkan diri sebagai wali. Berkat kepandaian Kafur, gerak maju Fathimi di sepanjang pantai Afrika Utara dapt ditahan, begitu pula dinasti Hamdani di Syiria Utara. Hanya setelah meninggalnya Kafur, Iksidiyah menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu al Fawarisaris Ahmad Ibn Ali yang menerima tahta setelah Kafur tidak bertahan lama karena kepemimpinannya yang sangat lemah. Sehingga serangan yang terus menerus dilancarkan oleh Fatimiyah terhadap pemerintahnnya membuat dinasti ini tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Sehingga dinasti ini dapat ditaklukkan oleh Fatimiyah.  

            Pada masa dinasti Iksidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi- diskusi keagamaan yang berpusat di masjid- masjid. Juga dibangun sebuah pasar buku besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal denagn nama Syuq Al Waraqin. Lahir pula ilmuwan besar seperti Abu Ishaq al Mawazi, Hasan Ibn Rasyid al Mishri, Muhammad Ibn Walid al Tamimi, Abu Amar al Kindi dan al Tayid al Mutanabi. Di samping itu, dinasti ini mewariskan bangunan- bangunan megah seperti sebuah Istana al Mukhtar di Raudah dan taman yang dikenal dengan Bustan al Kafuri, di samping itu didirikan sebuah gelanggang yang disebut Maydan al Ikhsidi.[11]

           
C. Dinasti Hamdaniyah ( 972- 1152 M ).

            Pada waktu dinasti Ikhsidiyah berkuasa di sebelah utara Mesir muncul pula dinasti lain sebagai saingannya, yaitu dinasti Hamdaniyah yang Syi’i.[12] Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang amir dari suku Taghlib. Pada masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh khalifah Abbasiyah karena beraliansi dengan kaum khawarij unutk menentang kekuasaan Bani Abbas. Akan tetapi, atas jasa putranya (Husain) Ibn Hamdun diampuni. Putranya yang bernama Al Husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Haija Abdullah diangkat menjadi gubernur Mousul oleh khalifah Al Muktafi pada tahun 905 M.[13]

            Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan di Mosul dan wilayah kekuasaan di Halb ( Aleppo ). Wilayah kekuasaan di Aleppo, terkenal sebagai pelindung kesusastraan Arab dan Ilmu Pengetahuan. Pada masa itu pula muncul tokoh- tokoh cendekiawan besar seperti Abi al Fath dan Utsman Ibn Jinny yang menggeluti bidang Nahwu, Abu Thayyib al Mutannabi, abu Firas Husain Ibn Nashr ad daulah, Abu A’la al Ma’ari, dan Syaif  ad Daulah sendiri yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al- Farabi.[14]

            Setelah meninggalnya Haija, tahta kerajaan di Mosul beralih pada seorang putranya, yaitu Hasan Ibn Abu Haija yang diberi gelar Nashir ad Daulah dan Ali Ibn Haija yang bergelar Syaif ad Daulah . Syaif ad Daulah inilah yang berhasil menguasai daerah Halb dan Hims dari kekuasaan dinasti Ikhsidiyah yang kemudian menjadi pendiri dinasti Hamdaniyah di Halb (Aleppo).

            Mengenai jatuhnya dinasti ini terdapat beberapa faktor. Pertama, meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak bertanggung jawab dan destruktif tetap ia jalankan sehingga rakyat menderita. Kedua, bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari invasi serangan Bizantium yang energik sehingga Aleppo dan Himsh terlepas dari kekuasaannya. Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiyah ke Suriah bagian selatan, sampai mengakibatkan terbunuhnya Said ad Daulah yang tengah memegang tampuk kekuasaan Hamdaniyah. Hingga dinasti ini jatuh ke tangan dinasti Fatimiyah.[15]


PENUTUP


            Seperti pendapat para sejarawan, bahwa untuk memisahkan diri dari pemerintahan pusat bani Abbas yang berada di Baghdad, ada dua cara:

a. Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.

b. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat sehingga mendapat otonimi dari Pemerintah pusat.

            Ketiga dinasti yang baru saja kita bahas, yaitu dinasti Thuluniyah, dinasti Ikhsidiyah, dan dinasti Hamdaniyah sepertinya menggunakan cara yang kedua. Setelah para pendiri ketiga dinasti tersebut menjadi gubernur di wilayahnya masing- masing dan kedudukannya semakin bertambah kuat maka menunggu waktu yang tepat untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat dan menjadi dinasti independen.

            Di wilayah Mesir diawali dengan berdirinya dinasti Thuluniyah, kemudian dilanjutkan oleh dinasti Ikhdsidiyah. Sedangkan di Suriah, tepatnya di Mosul dan Aleppo diwakili dengan berdirinya dinasti Hamdaniyah. Demikian pembahasan singkat tentang ketiga dinasti di Barat Baghdad yang telah kami sebutkan, pastinya penulis meminta maaf atas segala kesalahan dan kekurangan.

             





DAFTAR PUSTAKA


Bosworth, C.E. 1993.  Dinasti- Dinasti Islam. Bandung: Mizan.
Hakim, Moh. Nur. 2004. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press.
K. Hitti, Philip. 2006. History of Arabs (terjemahan). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Supriyadi, Dedi 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.















[1]  Moh. Nur Hakim, Sejarah Dan Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), hal. 81
[2]  Philip K. Hitti, History Of The Arabs, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 452
[3]  C. E. Bosworth, Dinasti Dinasti Islam ( Bandung: Mizan, 1993), hal. 67
[4]  Moh. Nur Hakim, hal. 82
[5]  Ibid.
[6]  Ibid.
[7]  Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 166
[8]  Philip K. Hitti, hal. 454
[9]  Dedy supriyadi, hal.166
[10]  Moh. Nur Hakim, hal. 83
[11]  Ibid, hal. 84
[12]  Moh. Nur Hakim, hal. 84
[13]  Dedy Supriyadi, hal.167
[14]  Ibid, hal. 168
[15]  C. E. Bosworth, hal. 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar