Minggu, 24 April 2011

Makalah Antropologi

TRIKOTOMI KEHIDUPAN SANTRI, ABANGAN DAN PRIYAYI


Makalah diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah
Antropologi Islam

Dosen Pengampu
Drs. Abdul Aziz, M.Ag





iain hiTAM PUTIH_1
 














Oleh:

Muhammad Nur Salim            (A02209016)
Ali Dimiyati                            (A32209014)




JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2010



PENDAHULUAN

Kebudayaan Jawa yang tidak bisa lepas dari pengaruh Hindu-Budha, Cina, Arab/Islam dan Barat telah menjadikan Jawa sebagai tempat persilangan budaya antar etnik secara intens. Dalam hal seperti itu, studi tentang Jawa yang dikontraskan dengan Islam, tetap mempesona dengan berbagai corak budayanya. Bahkan, Jawa telah menggerakkan ketertarikan ilmuwan Barat untuk terus menggali dan mencari.

Di antara beberapa pemikir Barat itu salah satunya adalah Clifford Geertz. Antropolog ini meneliti tentang budaya Jawa yang telah dimasuki unsur Islam. Dalam tataran taktis, hal seperti ini dapat disimpulkan sebagai “Agama Jawa”. Hanya saja, dalam pandangan mapan, Islam dan Jawa adalah dua entitas yang dirancang terpisah, berbeda, berlawanan, dan tidak mungkin bersenyawa. Islam dikontraskan dengan Jawa yang dipandang secara romantis, arkaik dan penuh pesona.[1]

Penelitian Clifford Geertz dilakukan tahun 1950-an.  Setelah melakukan penelitian serius di Pare (wilayah ini masuk Kabupaten Kediri, sebuah Kabupaten di Jawa Timur yang dekat dengan Blitar) yang disamarkan dengan istilah Mojokuto. Clifford Geertz membuat tiga kategori aliran dalam masyarakat Jawa, yaitu abangan, santri dan priyayi. Dalam konteks tertentu, Clifford Geertz juga menelusuri lebih khusus asal-muasal keraton Jawa dan agama rakyat dengan berbagai prototipe.[2]



PEMBAHASAN
TRIKOTOMI KEHIDUPAN SANTRI, ABANGAN DAN PRIYAYI

   Sebelum kita membahas tipologi masyarakat Jawa yang terdiri dari santri, abangan dan priyayi, alangkah baiknya kita sedikit mengenal seorang tokoh Antropolog yang pertama kali mengenalkan tiga istilah tersebut. Ia merupakan orang yang paling awal membuat tipologi keberagamaan Jawa berdasarkan sebuah penelitian yang cermat dalam karyanya The Religion of Java yang kemudian diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dan diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1981 (cetak ulang tahun 1988 dan 1989) menjadi Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Tentu saja, sebelum Geertz juga ada yang mengkaji keberagamaan Jawa, seperti mengkaji agama-agama asli Jawa, sejarah Jawa. Akan tetapi, Geertz-lah yang utama memperkenalkan sebuah tipologi yang kemudian banyak didikuti oleh para pengkaji dalam melihat Jawa, Islam dan Indonesia.

A.    Clifford Geertz.
Clifford Geertz dilahirkan di San Fancisco pada tanggal 23 Agustus 1926. Latar belakang pendidikannya sangat mengagumkan, karya-karyanya di bidang Antropologi sangatlah mengesankan, karena ditopang oleh latar belakang pendidikannya yang sangat baik. Pada tahun 1950 Geertz telah menerima gelar B.A. dari Antione College. Gelar PhD., diperolehnya dari Universitas Harvard. Pada tahun 1956 memperoleh gelar L.L.D., dan tahun 1974 memperoleh gelar L.H.D. pada Nothern Micigan University. Pada tahun 1960 sampai 1970, Geertz menjadi guru besar pada Institut Ilmu Sosial Princeton di New Jersey. Tepat pada tahun 1970 Geertz menjabat sebagai ahli masyarakat Timur pada Universitas Oxford, dan pada tahun 1984 menjadi asisten pada jurusan Antropologi pada Universitas Chicago. [3]

            Tampak dari penjelasan ini bahwa Geertz seorang yang dikenal di lingkungan akademisi Antropologi Amerika. Pada dasawarsa 1960 sampai 1970-an, para sarjana Amerika tertarik untuk melakukan penelitian di Indonesia. Mereka melakukan penelitian di kota Pare yang kemudian dikenal dengan nama samaran Mojokuto, sejak Mei 1953 sampai Oktober 1954. Penelitian tersebut dimaksudkan antara lain untuk bahan penelitian desertasi mereka. Tim peneliti tersebut dipimpin oleh Rufus Hendon dengan anggotanya adalah Alice Dewey, Donald Fagg,  Robert dan Anne Jay, Edward dan Anola Ryan, Clifford Geertz dan Hildred Geertz.[4]  Dari penelitian ini, selain menghasilkan gelar doktor, tim peneliti tersebut juga membuahkan sejumlah buku klasik tentang masyarakat Jawa dalam ilmu sosial di Indonesia.
 
Tim peneliti yang tersebut di atas menghasilkan laporan sebagai tim. Akan tetapi sebagai pribadi-pribadi, tampaknya masing-masing orang memiliki hasil penelitiannya sendiri. Misalnya di sini, Geertz secara pribadi kemudian menyusun The Religion of Java (yang diterjemahkan menjadi Santri, Abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa).[5]


B.     Keberagamaan Orang Jawa: Pandangan dalam The Religion of Java

The Religion of Java adalah karya Geertz yang membicarakan soal keberagamaan orang Jawa. Penduduk Mojokuto (sebuah lokasi samaran di Jatim yang sebenarnya adalah kota Pare di Kediri) oleh Geertz dibagi dalam kelompok-kelompok menurut pandangan hidup mereka: kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik mereka. Dari situ Geertz menemukan tiga tipe budaya utama. Ketiga tipe itu ia namakan berturut-turut abangan, santri dan priyayi. Dengan ini Geertz memperkenalkan bagan konsep yang ia gunakan untuk melukiskan dan menganalisis hasil-hasil pekerjaan lapangannya.

Ketiga varian agama itu secara singkat dilukiskan sebagai berikut: abangan, yang menekankan aspek-aspek animisme-sinketrisme Jawa secara keseluruhan, dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa; santri, yang menekankan aspek-aspek Islam ketat yang pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang (dan juga dengan unsur-unsur tertentu kaum tani); dan priyayi, menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi. [6]

Pembagian dalam tiga kategori ini, menurut tafsir Geertz, merupakan pembagian  yang dibuat oleh orang-orang Jawa  sendiri. Memang benar bahwa di Mojokuto, seperti di masyarakat Jawa lainnya, sebagian dari penduduk dianggap sebagai abangan, sebagian sebagai santri, dan sebagian sebagai priyayi. Akan tetapi hal itu tidak mesti berarti bahwa ketiga golongan itu merupakan kategori-kategori dari satu tipe klasifikasi.

Pembedaan antara abangan dan santri diadakan apabila penduduk digolong-golongkan menurut prilaku keagamaan. Seorang santri lebih taat kepada agama dibandingkan dengan seorang abangan, sedangkan ukuran ketaatan itu kepada nilai-nilai pribadi orang-orang yang menggunakan istilah itu. Sebaliknya, istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori dari kasifikasi yang sama, karena pastilah ada orang-orang priyayi yang taat pada agama, dan karenanya mereka juga santri; dan orang-orang priyayi yang tidak memperhatikan soal-soal agama, dan karenanya mereka dianggap sebagai abangan. Istilah priyayi mengacu kepada orang-orang dari kelas sosial tertentu, yang merupakan kaum elit tradisional: ia mengacu kepada orang-orang yang dianggap berbeda dari rakyat biasa yang disebut wong widah, wong cilik, atau bagi kaum mayoritas disebut wong tani.

Selanjutnya, Geertz di akhir bukunya membatasi klasifikasinya dengan menyatakan bahwa istilah-istilah abangan, santri, dan priyayi menunjukkan pada dimensi-dimensi variasi kebudayaan, “bukan kategori-kategori absolut”,[7] meskipun seluruh buku itu memberi kesan kepada pembaca bahwa istilah-istilah itu menunjukkan bahwa kategori-kategori yang digunakan sebenarnya cukup tegas.

Yang sangat mencolok adalah pembagian buku menjadi empat bagian. Ketiga bagian yang pertama secara tegas diberi judul varian abangan, varian santri, dan varian priyayi, masing-masing mencakup beberapa bab yang melukiskan ciri-ciri dari varian agama sebagaimana yang disebut dalam bagian itu. Bagian yang terakhir membicarakan masalah konflik dan integrasi dari ketiga varian itu, atau lebih pasnya membahas masalah konflik dan integrasi dari masyarakat Mojokuto secara keseluruhan. Penulis akan menyebut beberapa varian yang disebutkan Geertz itu: abangan, santri dan priyayi.




1.      Model Satu: Varian Abangan
   Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah).
   Pendapat lainnya ialah bahwa kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an.  Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syari'at (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah.[8]
Tradisi keagamaan abangan terdiri dari pesta keupacaraan yang disebut slametan, sebuah kepercayaan yang kompleks dan rumit. Slametan merupakan semacam wadah bersama masyarakat, yang mempertemukan beberapa aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan.  Slametan dapat dilakukan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan.[9]

Tekanan untuk masing-masing slametan sedikit berbeda. Dari seluruh upacara itu di sebagian tertentu dilakukan dengan intens dan meriah, sementara di bagian lainnya agak dikendorkan. Suasana kejiwaannya mungkin berubah-ubah sekedarnya, tetapi struktur upacara yang mendasarinya tetap sama. Senantiasa ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut maksud slametan itu); ada dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi (yang isinya tentu saja berbeda-beda menurut peristiwanya); selalu terlihat tata krama yang sopan dan sikap malu-malu, yang mengesankan bahwa sekalipun penyelenggaraan upacara itu begitu ringkas dan tidak dramatis, tetapi sesuatu yang penting sedang berlangsung.[10]

Pola slametan ini biasanya dilakukan pada malam hari segera setelah matahari terbenam dan  sembahyang maghrib telah dilakukan oleh mereka yang mengamalkannya. Dalam melaksanakan ritus ini, tuan rumah mengundang para tetangga laki-laki, dan selalu yang mengikuti slametan ini kaum laki-laki dengan menghadirkan santri sebagi imam atau yang memimpin slametan ini. [11]

Selain slametan, ritus penting dalam keberagamaan masyarakat Jawa lainnya adalah: kepercayaan atas ruh-ruh halus, danyang demit, tuyul, lelembut, memedi dan arwah para leluhur. Sedangkan aspek lain dalam soal hidup adalah kepercayaannya kepada dukun. Di antara model-model ini, slametan menjadi ritus dan upacara inti dari orang abangan.

Varian abangan ini, kebanyakan Muslim (meski tentu saja ada yang memeluk kebatinan), tetapi tidak merasa terikat dengan ritus-ritus formal kalangan Islam ortodoks, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, shalat Jum’at, zakat fithrah. Ritus dominan, sebagaimana disebutkan itu adalah slametan. Meski begitu, umumnya mereka mengakui Nabi Muhammad sebagai seorang Nabi dan Al-Qur’an adalah kitab suci. Mereka juga mengakui adanya Sang Pencipta yang biasanya disebut Gusti. Mereka ini, kaum abangan, ada di desa-desa yang nanti dibedakan dengan priyayi yang umumnya di kota-kota.

2.      Model Dua: Varian Santri

Varian ini merupakan varian yang menjalankan syariat Islam secara taat, dan yang menjadi perhatian kalangan santri adalah doktrin Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya.[12] Untuk kalangan santri, rasa perkauman adalah yang terutama. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris, perkauman yang makin lama makin lebar, dari individu sampai seluruh umat Islam dunia; suatu masyarakat besar orang-orang beriman yang senantiasa mengulang dalam membaca nama nabi, melakukan sembahyang dan membaca Al-Qur'an.[13]

Pola keagamaan santri diatur oleh waktu dalam sembahyang lima kali yang diulangi setiap hari dan dilakukan dengan sederhana. Selain sembahyang lima kali, kalangan santri juga melakukan sembahyang Jum’at yang dilakukan tiap hari Jum'at satu kali dalam seminggu.

Puasa juga dilakukan kalangan santri. Puasa dilakukan pada bulan Ramadhan yang dimulai sebelum terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari. Pada waktu melaksanakan puasa, para santri juga melakukan ibadah-ibadah tambahan yang ada dalam bulan puasa, yaitu traweh dan darus. Setelah menjalankan puasa selama sebulan penuh, mencapai klimaksnya dan para santri melaksanakan syri’at Islam yang lainnya seperti zakat, yang dilakukan malam Idul Fitri. Setelah itu, sembahyang di pagi hari di akhir bulan puasa dan setelah zakat fitrah ditunaikan.[14]

Kalau orang bertanya kepada golongan santri mengapa orang harus berpuasa, mereka hampir selalu memberikan tiga alasan: untuk menunjukkan ketaatan perintah kepada Tuhan;  untuk merasakan bagaimana rasa lapar sehingga orang mampu merasakan bagaimana rasanya menjadi orang miskin dan tidak cukup makan; untuk memperkuat diri agar orang sanggup menanggung penderitaan apa pun yang menimpanya.[15]

Varian santri ini, dalam lingkup orang Jawa, adalah penganut Islam yang menjalankan ritus-ritus formal sebagaimana ada dalam konsepsi Islam ortodoks. Yang utama dan terutama adalah: shalat, puasa, zakat dan haji (bagi yang mampu). Varian santri ini berbeda dengan varian abangan yang tidak merasa penting terikat dengan ritus-ritus formal Islam.

3.      Model Tiga: Varian Priyayi

Istilah priyayi asal mulanya hanya diperuntukkan bagi kalangan aristokrasi turun-temurun oleh Belanda, yang dengan mudahnya dicomot oleh raja-raja pribumi yang ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagi pejabat sipil yang digaji. Elit pegawai ini, yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, musik dan sastra, dan kentalnya mistisisme Hindu-Budha.[16]

Kaun priyayi umumnya selalu berada di kota-kota, bahkan salah satu ciri Jawa modern yang secara sosiologis paling menarik adalah besarnya jumlah priyayi di kota-kota. Sebagian karena tidak stabilnya politik dalam kerajaan-kerajaan masa pra-kolonial; sebagian karena filsafat mereka yang melihat “ke dalam” yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik; sebagian karena tantangan Belanda terhadap usaha mereka merangkul kaum tani, sehingga kaum priyayi itu tidak mampu menjadikan diri mereka priyayi tuan tanah.[17]

Titik utama kehidupan keagamaan priyayi adalah etiket, seni, dan praktek mistik.  Etiket, seni, dan praktek mistik merupakan usaha berurutan dari priyayi selagi ia bergerak dari permukaan pengalaman manusia menuju “kedalamnya”, dari aspek luar kehidupan ke aspek dalamnya. Etiket, polesan kelakuan antar orang, menjadi adat yang pantas dalam pergaulan, memberikan formalitas kerohanian pada kelakuan sehari-hari, disiplin rangkap atas pikiran dan badan, mengisyaratkan arti penting yang dalam pada gerak-gerik luar; dan praktek mistik, pengaturan intensif atas kehidupan pikiran dan perasaan, mengorganisasikan sumber-sumber spiritual untuk diarahkan pada kebijaksanaan yang tertinggi.

Kelompok priyayi ini, umumnya juga memeluk agama formal, meskipun tentu saja di antara mereka ada yang memeluk kebatinan. Mereka yang memeluk kebatinan atau “agama Jawi” sama sekali longgar dengan ritus-ritus Islam. Sedangkan mereka  yang formalnya Islam, ternyata juga sama seperti kaum dalam abangan, yaitu juga longgar dengan ritus-ritus Islam.



C.     Islam Jawa dan Abangan-Priyayi dalam konsep Geertz

Islam Jawa, sama sekali tidak disinggung Geertz. Apakah ia sebagai abangan atau priyayi? Abangan dan priyayi, juga tidak spesifik apakah mereka beragama Islam atau Kebatinan. Dari sini memang Geertz  tidak memiliki konsep soal Islam Jawa. Yang ada adalah konsep abangan dan priyayi, yang dalam tingkat tertentu oleh Mark R Woodward disebut Islam Jawa. Geertz sendiri secara tersurat juga menyebut mereka beragama Islam, tetapi variannya adalah abangan. Ini tampak ketika membedakan antara santri dengan abangan, selain dari kadar ortodoksinya dalam menjalankan Islam, juga ada perbedaan lain. Ini mengasumsikan bahwa secara tersurat Geertz menyebut sebagai kelompok Islam juga, tetapi kadar ketataannya atas Islam kurang.

Secara lebih jelas, untuk melihat abangan sebagai seorang yang ada dalam kategori Islam juga, Geertz memberikan perbedaan santri dan abangan: kaum abangan tidak peduli atas doktrin-doktrin formal Islam, sementara santri sebaliknya. Terutama dalam shalat, kaum santri sangat taat. Sementara abangan tidak mempedulikannya. Kaum abangan juga orang yang relatif baik atas orang lain yang berbeda atau bahkan adat kuno mereka. Berbeda dengan santri yang selalu taat dan emosional soal keimanan. Bila orang lain tidak sama akan cepat dibilang tidak ‘Islam sejati”.[18]

Soal dengan priyayi, Geertz juga tidak menjelaskan secara jelas apakah mereka juga bagian dari orang Islam, meski dengan penafsiran lain misalnya. Sebab, justru Geertz kemudian menyebut kelompok-kelompok priyayi bergerak di kebatinan dan membetuk sekte-sekte kebatinan: Budi Setia, Kaweruh Beja, Ilmu Sejati dst.[19]

Dari pembedaan ini, sebenarnya Geertz juga secara tersirat menyebut bahwa kaum abanganlah yang lebih dekat dengan  konteks penyebutan seorang Muslim, meski kadar ketataannya berbeda dengan santri. Inilah yang oleh Woodward kemudian disebut Islam Jawa. Kalau pada akhirnya di sini disebut dengan Islam Jawa, dalam konteks abangan inilah yang lebih dekat dengan pikiran Geertz daripada konteks priyayi, meskipun tentu saja ada kalangan priyayi yang lebih memilih Islam Jawa daripada misalnya kebatinan.

Dari sini, juga tampak istilah Islam Jawa memang tidak ditemukan dalam konsepsi Geertz. Bahkan secara formal konteks abangan, sama sekali tidak dijelaskan apakah ia Muslim atau tidak, apalagi dalam konteks priyayi. Hanya saja, dari pembagian yang ada di buku The Religion of Java, tampak aliran yang ingin ditancapkannya dalam agama Jawa versi Geertz: santri, priyayi dan abangan di mana ketiganya adalah aliran agama yang berbeda.



D.    Kritik terhadap trikotomi Clifford Geertz

    Trikotomi Clifford Geertz menuai banyak kritikan salah satunya seperti yang disampaikan Profesor Harsja W. Bachtiar dalam tulisannya. Beliau mengidentifikasi terdapat beberapa kritik terhadap trikotomi Clifford Geertz. Pertama mengenai pengertian tentang agama. Geertz sangat kabur membedakan agama dengan kepercayaan. Trikotomi ini juga tidak merepresentasikan seluruh agama orang jawa karena hanya daerah Mojokuto (nama samaran untuk kota Pare, Kediri) sebagai obyek penilitian. Selain itu, agama kristen dan katolik ( yang juga diimani oleh sebagian minoritas orang – orang jawa ) tidak dijelaskan pada tesisnya ini.[20]

Kritik yang kedua mengenai dasar pembagian ketiga varian ini. Terdapat ketidaksamaan dasar pembagi untuk ketiga varian yang disampaikan oleh Geertz. Di satu sisi, abangan dan santri dikategorikan dengan dasar yang sama yaitu pola kesalehan dan keimanan mereka, namun di sisi lain, priyayi dikategorikan dengan pola yang lain. Kuntowijoyo pun sependapat dengan hal ini. Untuk priyayi, Geertz memberi monopoli terhadap kesenian klasik dan populer, hal yang tidak diberikannya kepada varian lain, abangan dan santri. Untuk abangan hanya disebutkan simbol – simbol berupa magis, mitologi, dan ritual, sedangkan untuk santri pembicaraan terutama berkisar pada soal organisasi sosial dari agama.[21]

Kritik yang ketiga mengenai harus terdapatnya perbedaan mengenai adat dan agama. Dalam teorinya, Geertz agaknya kurang jeli untuk mendiskripsikan mengenai apa yang disebut dengan adat dan apa yang disebut dengan agama.

Selanjutnya kritik mengenai varian abangan. Geertz mengelompokkan abangan sebagai tradisi kelompok – kelompok tani dan kebudayaan wong cilik. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Beberapa tradisi dan ritual abangan sebenarnya juga dilakukan oleh santri dan priyayi, walaupun konteksnya berbeda. Selain itu, slametan yang diidentikkan dengan abangan sebenarnya juga dilakukan oleh santri dan priyayi. Santri melakukannya di masjid dan priyayi melakukannya di keraton.

Kritik lain juga disampaikan Mitsuo Nakamura dalam bukunya mengenai pergerakan Muhammadiyah di Kotagede.[22] Beliau berpendapat bahwa trikotomi Clifford Geertz tidak relevan karena peletakan struktur masyarakat jawa, khususnya anggota Muhammadiyah sangat sulit karena batas – batas dari kategori – kategori ini semakin kabur.
Zaini Muchtarom dalam bukunya ”Santri dan Abangan di Jawa” juga sependapat dengan hal ini. Akan sangat sulit membatasi pengkotakan kepercayaan agama jawa berdasar pada kategori – kategori seperti itu.  Santri maupun abangan terdapat pada setiap lapisan masyarakat jawa, mulai dari wong cilik sampai ndara.[23]


PENUTUP

Dalam melihat keberagamaan orang Jawa atau masyarakat Jawa, Clifford Geertz melihatnya dalam tiga varian: abangan, santri dan priyayi. Abangan memiliki ritus dominannya adalah slametan, petunjuk-petunjuk dicarikan dari seorang dukun, banyak dipegangi petani, struktur sosialnya di desa dan mengabaikan ketaatan pada syari’ah Islam. Santri struktur sosialnya di kota, mempraktekkan syari’ah Islam secara ketat, seperti shalat lima waktu, puasa dan haji. Sedangkan priyayi menurut Geertz adalah versi halus dari abangan. Struktur sosialnya adalah elit kraton atau priyayi. Keberagamannya banyak diartikulasikan dengan simbol-simbol seni, wayang, gamelan, dan lain- lain. Slametan, dalam soal kelahiran, kematian, dan sebagainya memiliki kesamaan dengan abangan, yang membedakan hanyalah etik dan struktur sosialnya.





























DAFTAR PUSTAKA


Budiman, Arif. Mengenal Clifford Geertz dari Dekat”, dalam Intisari, Edisi Februari, 1984.
Geertz, Clifford Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987.
Muchtarom, Zaini. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta : INIS, 1988.
Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises Over the Banyan Tree : A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, terj. Yusron Asrofie. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1983.
Salim, Hairus. Konstruksi Islam Jawa dan Suara yang Lain,  dalam Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Subiantoro, Benny. Ilmu-ilmu Sosial Indonesia: Mencari Pendidikan dari Masa ke Masa,  dalam Prisma, edisi II, Februari, 1989.



[1] Hairus Salim HS, “Konstruksi Islam Jawa dan Suara yang Lain”,  dalam Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. vi.
[2] Ibid, hlm. 5
[3] Arif Budiman, “Mengenal Clifford Geertz dari Dekat”, dalam Intisari, Edisi Februari, 1984, hlm. 35.
[4] Benny Subiantoro, “Ilmu-ilmu Sosial Indonesia: Mencari Pendidikan dari Masa ke Masa”,  dalam Prisma, edisi II, Februari, 1989, hlm. 66.
[5] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 15.
[6] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 6
[7] Ibid., hlm. 347.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Abangan
[9] Ibid., hlm. 13
[10] Ibid., hlm, 14-15.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 173.
[13] Ibid., hlm. 175.
[14] Ibid., hlm. 296.
[15] Ibid., hlm. 300.
[16] Ibid., hlm. 8.
[17] Ibid., hlm. 307-308.
[18] Ibid., hlm. 172-175.
[19] Ibid., hlm. 414.
[20] Harsja W. Bachtiar. “The Religion of Java, a Commentary”, Majalah Ilmu – Ilmu Sastra Indonesia no. 1 Januari 1973, jilid V dalam Clifford Geertz, ibid., hlm. 521 – 551.
[21] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987) hlm. .51.
[22] Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over the Banyan Tree : A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, terj. Yusron Asrofie (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1983) hlm. 157 – 158.
[23] Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta : INIS, 1988), hlm. 8.

3 komentar:

  1. terimakasih mas.. sangat bermanfaat.. izin copas ya.

    BalasHapus
  2. Mantap...
    Bukunya Clifford Geertz di sini gak ada mas... :D

    BalasHapus
  3. kak, kalau ilmuan sekarang adakah yang sudah jelas membantahkan pemikiran clifford geertz????

    BalasHapus