Rabu, 27 April 2011

Khabar, Analistik, Thabaqat, Dan Silsilah


BENTUK BENTUK DASAR HISTORIOGRAFI ISLAM
Khabar, Analistik, Thabaqat, Dan Silsilah


Makalah diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah
Historiografi Islam

Dosen Pengampu

Prof. Dr. Ali Mufrodi, MA
Drs. Ahmad Nur Fuad, MA



 




Oleh:

Muhammad Nur Salim (A02209016)





JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2010

PENDAHULUAN

Historiografi Islam merupakan penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang Islam baik kelompok maupun perorangan dari berbagai aliran dan pada masa tertentu. Tujuan penulisannya adalah untuk menunjukkan perkembangan konsep sejarah baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan dan kemunduran bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Kebanyakan karya-karya Islam banyak ditulis dalam bahasa Arab, dan banyak pula yang berbahasa lain seperti Persia dan Turki.
      Adapun hal-hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah Islam adalah:
1.   Konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah Nabi Muhammad SAW adalah sebagai puncak dan pelaksanaan suatu proses sejarah. Nabi juga merupakan pembaharu sosial agama yang melaksanakan kenabiannya dan untuk memberikan tuntutan bagi masa depan. Jadi nabi telah menyediakan suatu kerangka bagi suatu wadah sejarah yang sangat luas untuk diisi dan ditafsirkan oleh para sejarawan.
2.   Adanya kesadaran sejarah yang di pupuk oleh Nabi Muhammad. Peristiwa sejarah masa lalu dalam seluruh manifestasinya, sangat penting bagi perkembangan peradaban Islam. Apa yang dicontohkan oleh Nabi semasa hidupnya merupakan kebenaran sejarah yang harus menjadi suri tauladan bagi umat Islam selanjutnya. Kesadaran sejarah yang besar ini, menjadi pendorong untuk penelitian dan penulisan sejarah.
Ada beberapa tahap perkembangan dalam menciptakan mekanisme sejarah tersebut, yaitu pada awalnya informasi disampaikan secara lisan, dan kemudian metode penyampaian lisan ini (oral transmission) dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan, yaitu semacam pelapor catatan.
Makalah ini akan berusaha memberikan penjelasan tentang bentuk- bentuk dasar historiografi Islam, yaitu khabar, analistik, thabaqat dan nasab atau silsilah.


PEMBAHASAN
BENTUK BENTUK DASAR HISTORIGRAFI ISLAM


Bentuk dasar berposisi sebagai karakter awal penulisan sejarah dalam tradisi Islam. Bentuk-bentuk ini merupakan kerangka penulisan sejarah yang berisi kisah-kisah, syair-syair dan bait puisi. Pendapat umum para peneliti historiografi tentang beberapa genre awal penulisan sejarah di kalangan Islam dan Arab, adalah meliputi khabar, annalistik (kronologis), catatan dinasti, thabaqat dan nasab.[1]
1.   Khabar
Bentuk historiografi Islam yang paling tua yang langsung berhubungan dengan cerita- cerita perang dengan uraian yang baik dan sempurna yang biasanya mengenai suatu kejadian yang kalau ditulis hanya beberapa halaman saja, dinamakan Khabar. Di dalam konteks karya sejarah yang lebih luas perkataan khabar sering dipergunakan sebagai laporan, kejadian atau certita.[2] Konon, penduduk Yaman telah mencatat sejarah para penguasa mereka lewat ukiran- ukiran atau relief yang dipahatkan pada bangunan- bangunan. Demikian pula dengan para penguasa Hirah di Irak yang mencatat sejarah kejadian mereka di dinding bangunan dan tempat peribadahan.[3]

Di dalam penulisan sejarah ada tiga hal yang merupakan ciri khas bentuk khabar:
1. dalam khabar tidak ada hubungan sebab akibat di antara dua atau lebih peristiwa- peristiwa. Tiap- tiap khabar sudah melengkapi dirinya sendiri dan membiarkan saja cerita itu tanpa adanya dukungan rerfensi yang lain sebagai pendukungnya.
2. sesuai dengan ciri khasanya yang sudah berakar jauh sebelum Islam maka cerita- cerita perang, bentuk khobar tetap dengan mempergunakan cerita pendek, memiliki situasi dan peristiwa yang disenangi menyalahi kejadian yang sebenarnya. Peristiwa yang selalu disajikan dalam dialog antara pelaku peristiwa, sehingga meringankan ahli sejarah melakukan analisa terhadap peristiwa itu kepada pembaca. Menyajikan peristiwa perang dengan lengkap, merupakan bacaan yang menyenangkan namun peristiwa yang sebenarnya tetap menjadi terselubung.
3. bentuk khabar cukup bervariasi, sebagai cerita pertempuran yang terus-menerus dan sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga disajikan dalam bentuk puisi serta syair-syair. Banyak sedikitnya syair tergantung kemauan dan ekspresi psikologis penulis.[4]
Bentuk khabar di dalam berbagai ragamnya terdapat pula dalam sejarah Muslim, walaupun mereka membatasi kepada catatan peristiwa-peristiwa saja atau menulis nama-nama tanpa ada penjelasan lanjut. Sebagaimana bentuk-bentuk dasar lainnya, jarang sekali muncul apa yang disebut bentuk murni. Biasanya selalu dikombinasikan dengan unsur-unsur lain dalam penulisan sejarah. Sehingga, sebagai misal, dalam menyajikan biografi Nabi Muhammad sudah dilengkapi dengan nasab (silsilah) dan informasi lain seperti daftar nama sahabat yang berjasa dan dikenang dalam perjuangannya.[5]
Ilmuwan sejarah yang menulis dalam bentuk khabar ini diantaranya adalah: Abu Mihnaf Luth Ibn Yahya (w. 774 M) dan al-Haitsam Ibn ‘Adi (w. 821 M) yang karyanya berupa kumpulan monograf dalam bentuk khabar dan nasab. Juga terdapat nama ‘Ali Ibn Muhammad al-Madaini (w. 831 M) yang salah satu karyanya berjudul Al-Murdifat min Quraisy (Wanita Quraisy yang Poliandri). Selanjutnya, pada tahun-tahun kehidupan penulis itu pula historiografi dalam bentuk khabar sebagai bentuk yang berdiri sendiri dalam sejarah mulai berakhir, bentuk selanjutnya mengarah pada kronologi.[6]
2. Analistik
Kalau sebelumnya para sejarawan Islam menulis peristiwa- peristiwa sejarah secara acak dan tidak berurutan, dalam perkembangan seterusnya para sejarawan kemudian menggunakan dua metode penulisan, yaitu,(1) metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (Hawliyat, Annalistic) dan (2) metode penulisan sejarah berdasarkan tema (tematik).[7]
Analistik berasal dari kata dasar anno (tahun). Historiografi dalam bentuk analistik merupakan bentuk khusus penulisan sejarah dengan menggunakan kronologis, yaitu pencantuman kejadian tiap tahun. Biasanya dimulai dengan kalimat “dalam tahun pertama” atau “ketika masuk tahun kesembilan”. Penyajian dalam bentuk ini sepenuhnya berkembang pada masa al-Thabari (wafat 310 H). Karya sejarah permulaan terbit pada dasawarsa pertama abad ke-10 M dan diteruskan sampai tahun 915 M.[8]
Al-Thabari bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid al-Thabari al-‘Amuli, adalah seorang penulis sejarah yang terkemuka. Namun pada masanya beliau lebih dikenal sebagai ahli fiqih, bahkan Ibn Nadhim mensejajarkannya dengan imam Malik dan Syafi’i. Dalam perjalanan hidupnya, banyak kitab yang telah dikarang, seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Adab al-Manasik, Adab al-Nufus dan Tahdzib Atsar. Oleh banyak pemerhati historiografi Islam ia sering dipandang sebagai sejarawan muslim yang pertama menghasilkan metode hawliyat atau analistik.[9]
Namun, sebelum al-Thabari juga telah berkembang penulisan dalam bentuk analistik. Sejarah bentuk analistik tertua yang masih ada adalah: (1) Sejarah Khalifah Ibn Hayyat yang ditulis sampai tahun 847 M sebagai bentuk analistik yang memulai uraiannya mengenai arti tarikh dan uraian singkat mengenai sirah nabawiyah, (2) Kitab sejarah dari Ya’qub ibn Sufyan (wafat 891 M) yang ditulis berdasar urutan tahun dengan beberapa kutipan. (3) Sejarah dari Ibn Abi Haitsamah (wafat 893 M).[10]Contoh bentuk analistik ini, di antaranya ditunjukkan oleh Ibn Hajar yang berjudul al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Miati al-Saminah yang menyajikan biografi tokoh-tokoh terkemuka, termasuk guru-gurunya yang disusun menurut hijaiyah yang terdiri dari dua bagian, pertama disajikan menurut riwayah dan kedua dengan cara dirayah, sesuai tahun mereka meninggal.
Penulisan bentuk analistik, awalnya menggunakan klasifikasi tahun, sementara penyebutan bulan sangat sedikit. Terjadi pengecilan scope lintasan waktu, pada abad 14 dan 15 pasca Kristus, pengecilan itu mencapai hitungan bulan dan hari. Sedangkan kristalisasi historiografi seratus tahunan (seabad) berlaku sampai akhir abad ke-13 masehi. Untuk pertama kali, perkataan “qarn” (abad) muncul dalam judul yang berhubungan dengan abad itu, misalnya karya Ibn al-Fuwaithi dan Lisanuddin ibn al-Khatib.[11]
3. Thabaqat
Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang dalam penggunaannya berarti generasi. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti dari thabaqat. Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun sedang lainnya 40 tahun. Ada juga yang berpendapat thabaqat itu lamanya 10 tahun.[12]
Untuk memudahkan refrensi, sejarah bentuk biografi disusun dalam kelompok- kelompok( kelas) yang biasa disebut thabaqah. Thabaqat mencakup orang- orang yang telah wafat dalam waktu yang kira- kira sama.[13] Dalam tradisi Islam sendiri, thabaqat merupakan sesuatu yang amat lazim. Terutama jika merujuk pada sejarah Muhammad; dalam lingkaran dan lintasan waktu perkembangan agama Islam, terdapat lapisan shahabat, tab’in, tabi’ al-tabi’in dan seterusnya. Hal ini berhubungan dengan kritik isnad dalam ‘ulum al-hadits.
Pada mulanya, sebagai contoh dalam karya ibn Sa’ad, penyusunan thabaqat dipergunakan sebagai biografi para penguasa yang penting dalam pemindahan hadits. Dalam sejarah lokal, semacam karya Washal Sejarah Wasith di dalamnya hanya dibatasi para perawi hadits. Kemudian dapat dipergunakan untuk kelas-kelas kelompok pribadi terutama yang tergolong ulama. Selanjutnya juga digunakan untuk klasifikasi kejadian-kejadian sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Dzahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-‘Alam. Yang penting dalam karya thabaqat ini ialah untuk memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang apa yang sebenarnya harus dicari dan diteliti. Dalam karya Abu Ishaq yang berjudul Thabaqat al-Fuqaha’ seseorang menginginkan sebanyak mungkin informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk mendapatkan biografi tokoh dalam suatu wilayah dan lokasi.
Cara alfabetis penyusunan biografi ini banyak memberikan kemudahan bagi generasi selanjutnya. Dalam kitab al-Dibaj yang disusun oleh Ibn Farhun (abad 14 M), ulama-ulama Malikiyah diuraikan sesuai nama mereka, dan ini dibagi lagi ke dalam thabaqat kemudian thabaqat disusun menurut geografis.[14]
4. Silsilah
            Selama dua abad pertama periode Islam, hubungan famili yang sudah merupakan suatu yang sangat penting pada masa sebelum Islam di dalam masyarakat Arab masih tetap berlaku. Suku Quraisy dan bani Hasyim serta keturunan Ali atau keturunan dari pahlawan- pahlawan Islam tetap mendapatkan posisi penting dalam masyarakat. Karena itu lapangan pekerjaan yang penting selalu diperuntukkan kepada mereka yang berasal dari keturunan terkemuka.[15]
Nasab atau silsilah adalah catatan silsilah keluarga. Bagi orang Arab, menjaga jalur keturunan, terutama bagi yang mempunyai nenek moyang tokoh terhormat menyebabkan mereka harus menuliskannya. Keuntungan posisi dan status sosial ekonomi kadang membuat orang menyalahgunakan nasab ini. Nasab, kemudian menjadi bentuk dasar bagi historiografi Islam.
Selama abad kedelapan dan sembilan masehi, para ahli filsafat sejarah kuno, pada saat yang bersamaan juga merupakan ahli dalam bidang garis keturunan. Karya-karya mereka merupakan bentuk khabar yang berisi kumpulan berbagai kelompok kabilah (suku). Salah satu monograf yang berkenaan dengan garis keturunan yang mula-mula sekali adalah Kitab Hadzfu min Nasab Quraisy mengenai keluarga kecil suku Quraisy tanpa nabi Muhammad yang disusun oleh Mu’arrij ibn ‘Amr al-Sadusi. Selain itu terdapat nama al-Zubair ibn Abu Bakkar (w. 870 M) yang menulis kitab berjudul Nasab Quraisy, walaupun kitab ini lebih banyak membahas budi pekerti orang Quraisy daripada pohon keluarganya. Sebuah kitab dari al-Baladzuri berupa biografi tokoh berjudul Kitab al-Ansab didominasi biografi khalifah. Bentuknya adalah khabar dan historiografi dinasti.[16]
Bentuk penulisan nasab ini ada dua. Penulis bermadzhab Syi’ah, Tajuddin ibn Muhammad dalam pengantarnya untuk kitab Ghayat al-Ikhtishar fi Akhbari al-Buyutati al-‘Alawiyah, memasukkan dua macam penyajian untuk informasi garis keturunan, yaitu bentuk pohon dan bentuk datar/lajur (mabsuth).[17]
Sebenarnya, orang-orang Arab sejak masa lalu telah terbiasa membuat jalur keturunannya sendiri, dan ini merupakan cabang ilmu pengetahuan yang khusus dan seringkali dihubungkan dengan syair. Kebanggaan keluarga, sangat tergantung pada apa yang telah dilakukan nenek moyangnya dalam peristiwa ayyam al-A’rab (perang antara kabilah Arab) maupun peristiwa lain dan itu disusun dalam bentuk syair.[18]
Seorang sejarawan muslim India, Nizar Ahmed Faruqi dalam disertasinya berjudul Early Muslim Historiography (1979) menyatakan bahwa nasab merupakan salah satu sumber bagi penyusunan historiografi Islam, dengan mengambil dasar dari al-Quran surat al-Hujurât ayat 13.[19]













PENUTUP
Bentuk- bentuk dasar historiografi Islam seluruhnya berkembang pada abad- abad permulaan Islam, dan perkembangan itu bervariasi sesuai dengan kondisi masyarakat Islam pada waktu itu. Selanjutnya tidak banyak lagi mengalami perkembangan yang menonjol termasuk penciptaan bentuk- betuk baru, kecuali penulisan yang berbentuk puisi, yang menurut beberapa pendapat merupakan salah satu sarana sejarah.
Kalaupun ada perkembangan pada abad- abad selanjutnya, ini pun karena ditunjang oleh disiplin ilmu lainnya sehingga muncul bermacam variasi di dalam penulisan- penulisan sejarah.














DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Ghani Yusri Abdullah. Historiografi Islam : Dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
Abdullah, Taufik. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: PT Gramedia. 1985.
Umar, Muin. Historiografi Islam. Jakarta: Rajawali Press. 1991.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1998.































Pengaruh dari Luar Arab
Gesekan budaya antara Islam yang baru lahir dan berkembang dengan bangsa oukimene (berperadaban) yang lain menyebabkan historiografi Islam sedikit banyak mengambil corak dari filsafat dan budaya intelektual yang diterjemahkan maupun dikutip oleh penulis-penulis sejarah muslim. Pada masa kekhalifahan al-Makmun, ketika penerjemahan naskah Yunani dengan materi filsafat dan sejarah digalakkan melalui institusi Dar al-Hikmah itu, perkembangan penulisan sejarah juga makin marak.
Pengaruh Yunani. Dalam bentuk analitik, historiografi Yunani memberikan pengaruh besar. Kronik Yunani pada periode itu ketika Islam datang menyajikan bentuk historiografi analitik secara jelas melalui penulis muslim kontemporer. Ketika itu Ioannes Malalas, menggunakan struktur analitik sehubungan kekuasaan kaisar-kaisar. Terdapat juga data-data tentang sarjana-sarjana, filosof dan pemimpin gereja walaupun pada saat yang sama mereka juga politikus.
Yang menarik justru pernyataan Muin Umar, bahwa tidak pernah ada naskah klasik historiografi Yunani yang pernah sampai ke dunia Arab. Alasan yang dikemukakan adalah kecurigaan dari para ulama terhadap literatur sejarah lebih dari literatur pengetahuan lainnya. Selain juga kurikulum Yunani-Persia sangat jarang dimasukkan dalam pendidikan tinggi Islam.
Model Yunani ini, masuk dalam lingkar intelektual Islam melalui Syiria, dimana mayoritas beragama Kristen yang sering melakukan kontak dengan masyarakat luar seperti Yunani dan Byzantium. Dari segi jumlah, kurang tepat bila disebutkan bahwa historiografi analitik Islam pada mulanya berasal dari model Syiria dan Yunani. Hal ini lebih karena masuknya orang-orang Kristen ke dalam Islam.
Terdapat sebuah naskah sejarah Yunani, Akhbar al-Yunaniyiin, yang bentuk, isi dan penulisannya tidak begitu jelas. Menurut riwayat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Habib ibn Bahrez dari Mosul Irak, yang hidup di masa al-Makmun dan penerjemahannya dilakukan oleh Hamzah al-Isfahani dan Qadli Waqi’ (wafat 918 M).
Pengaruh Byzantium. Dalam konteks persentuhan dengan Byzantium, lebih banyak berasal dari penganut agama Kristen yang berbangsa Arab sehingga interaksi dengan kaum muslimin cukup sering dan terjadi transfer pengetahuan terhadap mereka. Peradaban Byzantium yang Kristen itu cukup memperhatikan penulisan sejarah, dan mereka cukup respek jika literatur historiografi menempati posisi yang besar dalam literatur Byzantium. Perlu disebutkan bahwa Bibliotheca of Photius abad sepuluh masehi, sebagian besar mencurahkan uraiannya mengenai sejarah dari segala sisi.
Persentuhan dengan Byzantium melalui Syiria ini mencatatkan Kronik Edessa pada abad keenam masehi yang merupakan karya analitik. Juga oleh Jacob van Edessa pada abd ke-7 M yang mahir menuliskan tentang peristiwa alam, bencana, gempa, kekeringan, hama dan sebagainya. Walaupun dia mengalami kesulitan kronologis karena adanya perbedaan almanak dalam naskah klasik terakhir.
Informasi bagi orang Islam sekitar orang Romawi dan raja-raja Kristen kembali kepada sumber-sumber Yunani Kristen atau Syiria, demikian pula mengenai Perjanjian Lama dan Baru, juga berita tentang raja-raja Babylonia dan Asyiria juga kembali pada sumber-sumber Kristen.
Pengaruh Persia. Sebenarnya, bukti yang tersedia tentang bentuk historiografi Persia abad tujuh masehi sangat kurang. Ketiadaan ini menyebabkan kesulitan penentuan penggunaan bentuk analitik dalam historiografinya. Banyak yang menganggap, pendapat yang menekankan pengaruh Persia pada keaslian histoiografi analitik Islam telah gugur. Namun kita masih dapat melacak adanya pengaruh yang tidak kecil dalam konsepsional penulisan sejarah Islam.
Dalam contoh ini adalah penulisan sejarah Raja-raja. Shiddiqie memberikan argumentasi dengan data masuknya tradisi intelektual Persia dalam khazanah Islam. Bahkan buku Persia berjudul Khuday-nama—yang merupakan kisah raja-raja, dan dianggap menjadi buku patokan penulisan biografi Arab—telah masuk dalam historiografi Arab satu abad sebelum Ibn Mukhaffa (w. 139 H). Pengaruh Persia ini cukup negatif. Banyak kisah dalam Khuday-nama yang memuat mitos pribadi dan spekulasi pendeta, juga legenda-legenda Avestik dan roman Iskandar bahkan cerita-cerita tradisi asli Sasanian sering disepuh dengan epik dan retorika.
Tutup Layar
Sejarah penulisan sejarah Islam ternyata telah melalui proses yang sedemikian panjang dalam lintasan sejarah manusia. Dengan pedoman pada kitab suci al-Quran dan al-Hadits. Hadits sendiri memiliki disiplin keilmuan yang hampir sama dengan disiplin historiografi. Karena dalam al-Hadits, musti ada check and re-check bagi setiap statemen, bahkan terdapat penilaian bagi individu narator dan transmiter materi (perawi) yang disebut dengan al-jarh wa al-ta’dil.
Bersamaan dengan pengembangan keilmuan internal, hitoriografi Islam terus berkembang melalui interaksinya dengan peradaban sekitar yang telah memiliki sejarah intelektual dan catatan historiografi cukup panjang. Di sinilah, sejarawan muslim menimba ilmu dan mengembangkan bentuk penulisan yang khas Islam; dengan spirit Islam dan materi-materi sekitar kaum muslimin.
Warisan intelektual itu, hingga saat ini masih bisa dinikmati pada peminat sejarah. Sangat membantu bagi ilmuwan yang akan meperdalam historiografi Islam dengan berbagai bentuknya.



[2] Muin Umar, Historiografi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 29
[3] Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 13
[4] Ibid, hal. 30
[5] Ibid, hal. 32
[6] Ibid, hal. 33
[7] Badri Yatim, Historiografi Islam, hal. 102
[8] Muin Umar, hal. 33
[9]  Badri Yatim, hal. 103
[10] Taufik Abdullah. Ilmu Sejarah dan Historiografi, ( Jakarta: PT Gramedia, 1985), hal. 59
[11] Muin Umar, hal. 43
[12] Ibid, hal. 49
[13] Taufik Abdullah, hal. 60
[14] Muin Umar, hal. 51
[15] Ibid.
[16] Ibid, Hal. 51-52
[17] Ibid, Hal.53
[18] Ibid, Hal. 54
[19] Ibid

1 komentar: