Rabu, 27 April 2011

Sejarah Pesantren Jawa Timur



SEJARAH PONDOK PESANTREN TIPE CAMPURAN
(PONDOK PESANTREN ATTANWIR DI BOJONEGORO)


Makalah diajukan untuk memenuhi tugas Matakuliah
Sejarah Perkembangan Pesantren Jatim

Dosen Pembimbing:

Drs. Imam Ghozali Said, MA







Oleh :

                                          Muhammad Nur Salim         : A02209016
                                         




JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
IAIN SUNAN AMPEL  SURABAYA
2010

PENDAHULUAN


         Talun adalah sebuah desa kecil yang dibelah menjadi dua bagian, yakni Talun bagian Utara dan bagian Selatan oleh jalan raya dan rel kereta api jurusan Surabaya-Bojonegoro. Masuk wilayah kecamatan Sumberrejo kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, tepatnya dua kilometer dari Sumberrejo dan delapan belas kilometer dari Bojonegoro. Di belahan selatan desa Talun, terdapat bangunan pesantren yang dirintis dan diasuh oleh KH. Muhammad Sholeh (Almarhum) sejak sekitar tahun 1933 Masehi yang sekarang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Attanwir. Nama tersebut mengandung harapan pesantren itu nantinya bisa menjadi pelita yang memancarkan sinar kebenaran untuk menerangi hati masyarakat sekelilingnya yang kala itu dapat dikatakan diselimuti mendung kegelapan, khususnya dibidang akidah Islamiyah dan Alhamdulillah, niat baik dan mulia itu dikabulkan oleh Allah SWT.

            Asal-usul tanah yang sebagian ditempati pondok adalah peninggalan seorang yang bernama Syuro, beliau bukan asli penduduk desa Talun, tetapi pendatang baru dari desa Sedayu lawas (Gresik). Dia berada di desa Talun bekerja pada seorang warga Belanda sebagai penjaga gudang tembakau. Setelah pemilik gudang ini habis masa kontraknya bekerja di Jawa, maka dia harus pulang kembali ke negeri Belanda, kemudian tanah yang ditempati gudang itu seluruhnya diserahkan kepada Mbah Syuro sebagai orang kepercayaanya. Kemudian tanah itu dibagi-bagikan kepada putra-putranya. Sedangkan tanah yang ditempati masjid, pondok dan sekitarnya adalah tanah wakaf pertama milik H. Idris, salah satu putra Mbah Syuro, dan merupakan paman dari KH. Muhammad Sholeh, perintis dan pendiri Pondok Pesantren Attanwir Talun .
























PEMBAHASAN


A. Sejarah Pendiri Pondok

         Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.[1] Oleh karena itu, dalam penyusunan sejarah singkat pondok pesantren Attanwir di desa Talun kecamatan Sumberrejo kabupaten Bojonegoro ini tidak bisa dipisahkan dengan pendirinya, yakni KH. Muhammad Sholeh.
          Pada tanggal 20 Februari 1902, di desa talun lahirlah seorang laki-laki dari Syarqowi bin Syuro Kuning. Anak tersebut diberi nama Muhammad Sholeh. Pada usia 10 tahun, Sholeh diminta oleh pamannya bernama H. Idris untuk diasuh sekaligus sebagai anak angkatnya, karena H. Idris tidak mempunyai anak, maka sejak itu Sholeh menjadi anak angkatnya dan mulai belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahun 1914 dia berguru kepada Kiyai Umar di Sumberrejo Bojonegoro. Pada tahun 1915 meneruskan belajarnya kepada Kiyai Basyir dan Kiyai Abu Dzarrin di Pondok Pesantren Kendal Dander Bojonegoro. Pada tahun 1916 meneruskan belajar di Madrasatul Ulum di kota Bojonegoro, di Komplek Masjid Besar selama empat tahun, juga pernah belajar pada KH. Kolil di Bangkalan Madura. Pada tahun 1921-1927 belajar pada KH. Faqih bin KH. Abdul Djabbar di Pondok Pesantren Maskumambang Dukun, Gresik.[2]
          Pada tahun 1923, masih dalam belajar di Pondok Pesantren Maskumambang Sholeh menunaikan ibadah haji yang pertama. Sepulang dari ibadah haji meneruskan kembali belajar di Pondok Maskumambang. Pada pertengahan tahun 1924 H. Sholeh diambil menantu oleh KH. Faqih dinikahkan dengan keponakannya sendiri bernama Rohimah binti KH. Ali. Tahun 1927 pulang dari Ponpes Maskumambang kembali ke desa Talun disertai istrinya Rohimah. Pada tanggal 20 Januari 1934 Rohimah wafat di Talun dan dimakamkan di Dukun Gresik, kemudian H. Sholeh menikah lagi dengan Hj. Muhlisah (janda dari H. Mahbub ) ibunya H. Badawi Jombang. Pada tahun 1933 setelah rumah tangga dan kehidupan keluarganya tertata, maka H. Sholeh mulai merintis kegiatan mengajar anak-anak yang bertempat di Musholla atau Langgar yang telah dipersiapkan oleh H.Idris sejak masih belajar di pondok Maskumambang. Pada tahun 1943 (zaman Jepang ), KH. Sholeh mengikuti Musyawarah Besar Ulama se Jawa di Jakarta. Tahun 1946 (zaman Revolusi) KH. Sholeh terpilih menjadi Camat Sumberrejo, jabatan camat tersebut setelah 2 tahun beliau mohon berhenti dengan hormat, dengan alasan sangat berat meninggalkan kegiatannya sebagai guru dan Cabang Syuriah NU Bojonegoro. Tahun 1976 beliau naik haji yang kedua bersama dengan Hj. Muhlisah. Tahun 1992 beliau wafat meningalkan 2 orang putra dari ibu Rohimah; H. Sahal Sholeh dan Hj. Anisah.[3]

B. Sejarah Berdiri Dan Perkembangan Pesantren

Pada tahapan awal pembentukan pesantren, umumnya masjid atau mushola menjadi pusat pendidikan bagi masyarakat. Di masjidlah kegiatan pembelajaran dilakukan. Pada perkembangan selanjutnya pesantren dilengkapi dengan pondok atau tempat tinggal santri.[4]
        
         Tahun 1933 setelah rumah tangga dan kehidupan keluarga tertata, maka H. Sholeh mulai memikirkan dan merintis kegiatan mengajar anak-anak di Musholla yang telah dipersiapkan oleh H. Idris, dimulai dari mengajar membaca  Al-Qur’an, tulis menulis huruf Arab, cara-cara beribadah dan sebagainya. Waktu belajar sore hari, mulai setelah Ashar hingga Isya’ setiap hari. Kegiatan ini dilakukan seorang diri dengan penuh ketelatenan, keuletan dan kesabaran serta keikhlasan. Setelah beberapa waktu berjalan, hasilnya mulai tampak, kalau semula yang belajar hanya anak-anak desa Talun yang jumlahnya kurang dari 10 anak, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, anak-anak dari desa sekitarnya mulai berdatangan ikut belajar hingga jumlahnya mencapai 40 anak lebih dan tidak ketinggalan para orang tua mereka juga mulai banyak yang datang untuk belajar atas kesadaran sendiri. Tahun 1938, karena persyaratan telah terpenuhi, maka diadakan jamaah sholat Jum’at yang pembukaannya dihadiri oleh KH. Hasyim (penghulu di Bojonegoro waktu itu) dan sekaligus memberikan nasehat/ mauidloh kepada para jamaah setelah usai sholat Jum’at. Hasilnya sangat menggembirakan, masyarakat tampak makin bersemangat dan tekun beribadah dan jumlahnya semakin bertambah banyak, sedangkan sarana yang ada masih sangat terbatas.[5]

          Semakin lama jumlah penduduk Islam semakin bertambah banyak sejalan dengan bertambahnya penduduk, akibatnya musholla yang ditempati untuk belajar mengajar dan sholat berjamaah sudah tidak mampu menampung mereka yang jumlahnya setiap waktu terus bertambah. Melihat kenyataan ini, maka kepala desa membeli sebuah rumah dari kayu jati dengan ukuran lebih besar dan selanjutnya diwakafkan untuk masjid, sedangkan musholla digunakan untuk tempat mengajar dan asrama santri putra. Kegiatan belajar mengajar masih berjalan sebagaimana biasa, yaitu dengan sistem sorogan dan hanya ditangani sendiri oleh KH. Sholeh.[6] Sejalan dengan perjalanan waktu, jumlah santri pun bertambah banyak, tidak hanya santri putra saja, santri putri pun jumlahnya semakin banyak dan diantaranya ada yang datang dari luar desa/ daerah, maka terpaksa harus menyediakan kamar untuk tempat tinggal. Kegiatan tersebut berjalan sesuai dengan kondisi yang ada, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, Pondok Pesantren Attanwir terus berusaha untuk memenuhi harapan dan kebutuhan umat.

          Dalam perkembangannya, Pondok Pesantren Attanwir  berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia modern, tanpa meninggalkan ciri khas sebagai lembaga pendidikan pesantren yang Islami Ala Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sebagai lembaga pendidikan tradisional Pondok Pesantren Attanwir mempunyai fungsi ganda yaitu dakwah dan pendidikan, karena itu peran dan fungsinya menjadi sangat strategis. Peran tersebut secara bertahap selalu diupayakan pelaksanaannya sesuai dengan kemampuan dan perkembangan situasi setiap waktu. Dengan semakin berkembang dan majunya dunia pendidikan serta meningkatnya tuntutan masyarakat, maka keberadaan Ponpes Attanwir juga dituntut untuk mampu memenuhi tuntutan tersebut, yaitu dengan membuka Madrasah Diniyah khusus anak putri, waktu belajar sore hari, lama belajar tiga tahun. Pada tahun pertama (tahun 1951) ada 40 anak, pada tahun berikutnya sudah mencapai 100 anak lebih, sedangkan santri putra untuk sementara masih tetap diajar setiap malam hari seperti biasa. Berkat ketekunan dan keikhlasan KH. Sholeh, kesadaran umat semakin meningkat, keimanannya semakin mantap, dan dukungannya terhadap Pondok Pesantren juga semakin besar. Kemudian pada tahun 1954 sistem pendidikan ditingkatkan lagi dari Madrasah Diniyyah menjadi Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun untuk putra-putri waktu belajar pagi hari. Seiring dengan bertambah banyaknya murid, maka pelaksanaan belajar mengajar tidak mungkin hanya ditangani seperti yang sudah berjalan selama ini, maka untuk kelancarannya di perlukan tambahan beberapa orang pembantu baik untuk membantu mengajar maupun membantu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan Pesantren. Untuk mengatasi kebutuhan tersebut, Pesantren mendatangkan ustadz dan ustadzah dari luar. Diantaranya dari Jogjakarta, Solo, Jombang, dan daerah lainnya, karena pada waktu itu tenaga pengajar dari daerah sendiri masih sulit.[7]
         
          Dalam perjalanan selanjutnya, kepercayaan umat kepada Pesantren terus meningkat. Santri/ murid yang datang semakin banyak, baik dari dalam maupun luar desa Talun, sehingga sarana untuk kegiatan belajar mengajar dan tempat beribadah perlu ditambah dan diperluas, maka menjelang tahun 1957, dengan bantuan bimbingan dan petunjuk H. Muhammad Maskun dan H. Idris dari Bojonegoro, disepakati untuk membangun sebuah masjid yang permanen dengan ukuran 16 x 11 m2, bertempat di atas tanah masjid lama. Tahun 1958 bangunan Masjid ini dapat terwujud, sampai sekarang bentuk dan model bangunannya masih tetap seperti sedia kala, belum ada perubahan, hanya penambahan teras di sebelah selatan untuk Muslimat dan teras depan, dan diberi nama Masjid Al-Muttaqin. Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa dengan meningkatnya kesadaran umat tentang pentingnya ilmu pengetahuan, maka Pesantren dituntut untuk meningkatkan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan saat itu, maka pada tahun 1960, Pondok Pesantren Attanwir membangun tambahan gedung baru dengan ukuran luas 21 x 7 m2, dan peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan oleh Bapak Bupati Bojonegoro, H.R. Tamsi Tedjo Sasminto. Gedung baru terletak di sebelah utara makam keluarga dan digunakan untuk Madrasah Mu’allimin Islamaiyah 4 tahun, kemudian dirubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun, dan selanjutnya diubah lagi menjadi Madrasah Tsanawiyah 3 tahun dan Madrasah Aliyah 3 Tahun. Setelah beberapa kali menamatkan siswanya sampai ketingkat kelas teratas (kelas 3 Aliyah) dan setelah mereka keluar, menyebar ke berbagai daerah dengan berbagai macam profesi yang ditekuni, maka dari mereka nama Pondok Pesantren Attanwir semakin dikenal dan pada gilirannya banyak putra-putri keluarga mereka dimasukkan ke Attanwir. Karena terbatasnya kemampuan Pondok Pesantren untuk menampung mereka, maka Pengasuh dengan para pembantunya setapak demi setapak berupaya menambah sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan dan upaya ini mendapat sambutan positif dari masyarakat. Tahun 1982, terjadi perluasan area pesantren, kalau semula cikal bakal Pesantren ini hanya modal dari H. Idris berupa sebidang tanah dengan sebuah bangunan musholla, maka dalam perkembangannya, ada beberapa orang keluarga dan warga masyarakat yang mewakafkan rumahnya. Rumah-rumah wakaf tersebut kemudian dipindah di lokasi Pondok Pesantren Attanwir dan dibangun kembali seperti bentuknya semula, sehingga bangunan terkesan apa adanya. Demikian juga penempatannya belum tertata secara baik. Hal ini semata-mata karena terbatasnya kemampuan, sedang kebutuhan untuk tempat sangat mendesak, keadaan sarana dan prasarana penunjang lainnya juga mengalami hal yang serupa, yakni apa adanya.[8]

          Mulai tahun 1982, dengan selalu memohon pertolongan Allah Swt., disertai upaya dan kerja keras, maka setiap tahun dapat merenovasi bangunan-bangunan lama dan sekaligus menata penempatan gedung-gedung tersebut. Disamping itu juga dapat membangun beberapa gedung baru, baik untuk Madrasah maupun untuk asrama (putra dan putri) termasuk perkantoran dan sarana lainnya. Pembangunan gedung-gedung tersebut sifatnya untuk mengejar kebutuhan pokok yang dirasakan sangat mendesak, jadi belum merupakan bangunan dengan kualitas dan standar yang sempurna, meskipun demikian masih belum mencukupi kebutuhan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah santri/ siswa yang datang setiap tahun. Bersamaan dengan itu, dengan semakin meningkatnya kesadaran umat, di antara keluarga dan para dermawan ada yang dengan ikhlas mewakafkan tanahnya, ada yang tanahnya ditukar dengan tanah di tempat lain dan ada pula yang tanahnya rela dibeli oleh pihak pondok, sehingga saat ini luas pondok sudah ada sekitar 1 hektar lebih, semua yang berstatus wakaf sudah bersertifikat.[9]

          Dalam  pelaksanaan sistem pendidikan, sebagai lembaga pesantren, sistem tradisional yang masih relevan dengan kondisi dan situasi sekarang tetap dipertahankan, sedangkan sistem modern yang dipandang lebih baik juga diterapkan, jadi ada perpaduan antara sistem tradisional dan sistem modern. Demikian juga dengan kurikulum yang dipakai merupakan perpaduan antara kurikulum pemerintah (Departemen Agama) dengan kurikulum pesantren, dalam arti pelajaran dalam bidang agama, disamping kurikulum ala pesantren modern Gontor juga tidak ditinggalkan, sudah barang tentu pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Mengingat pendidikan di pondok pesantren Attanwir ini tingkatannya masih lanjutan menengah, maka kepada mereka yang telah tamat Aliyah selalu dianjurkan dan didorong untuk melanjutkan belajar di perguruan yang tingkatannya lebih tinggi, diantaranya ada yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta dan juga di pondok pesantren lain untuk memperdalam di bidang agama. Bagi mereka yang karena sesuatu pertimbangan tidak dapat meneruskan belajar di tempat lain, Ponpes Attanwir menyediakan tempat dan kesempatan untuk belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Program Takhashshush selama dua tahun yang akhirnya juga dapat mengikuti ujian Negara.

          Tahun 1992, merupakan tahun berkabung (’Amul Khuzni ) bagi keluarga besar Pondok Pesantren Attanwir Talun karena pada tanggal 18 Februari 1992 Nyai Hj. Muchlisah wafat dan pada tanggal 26 Juni 1992 pendiri Pondok Pesantren Attanwir KH. Muhammad Sholeh juga wafat.[10]

          Setelah beliau wafat, sebagai kelaziman dan tradisi yang berlaku di dalam Pondok Pesantren, kepemimpinan berlaku secara sistem keluarga, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hal ini pengasuh pondok pesantren Attanwir diteruskan oleh H. Sahal Sholeh dengan dibantu keluarga KH. M. Sholeh (Almarhum) menurut kebutuhan. Kemudian pada tanggal 24 Juni 1996, Ustadz H. Hammam Munadji (cucu menantu KH. M. Sholeh) juga wafat. Kejadian ini merupakan kehilangan yang besar bagi keluarga Pondok Pesantren Attanwir, karena selama ini ustadz H. Hamam Munaji yang ditugasi menangani kegiatan belajar mengajar sebagai pimpinan bidang pendidikan. Pada tanggal 30 Agustus 2006, KH. Sahal Sholeh wafat, estafet kepemimpinan Pondok Pesantren diteruskan oleh KH. Ali Chumaidi Sahal dengan dibantu oleh saudaranya H. Fuad Sahal sampai sekarang ini.[11] Tahun 2007, ketika kepemimpinan pondok pesantren dipegang oleh KH. Ali Chumaidi atau cucu KH. Muhammad Sholeh Attanwir mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan pada tahun 2009 mulai membuka Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Attanwir.

C. Struktur  Pondok Pesantren Attanwir
Pengasuh                  : KH. Aly Cumaidi

                                 : KH. Ahmad Fuad Sahal

Pembimbing              : Drs. H. Mohammad Rofiq Sahal

                                   M. Mansur Hamam S.Hi
                                   H.M. A. Zainal Abidin

Dewan Pengawas     : H. Abu Hasan Syadzili

            Sejak awal, Pondok Pesantren Attanwir diasuh langsung oleh KH. Muhammad Sholeh, selaku pendiri dan perintis. setelah beliau wafat tahun 1992 M. kepengasuhan pondok di gantikan oleh Putranya KH. Sahal Sholeh. Kemudian, setelah KH. Sahal Sholeh wafat pada tahun 2006 M.
            Kepemimpinan dan Kepengasuhan Pondok Pesantren Attanwir diamanatkan kepada KH. Aly Chumaidi, putra pertama KH. Sahal Sholeh. dalam menjalankan tugas sehari-hari beliau dibantu oleh H. Ahmad Fuad Sahal, sebagai Pengasuh kedua hingga sekarang.

D. Azaz dan tujuan
Pondok Pesantren Attanwir berazaskan Islam.
            Pondok Pesantren Attanwir didirikan dengan semangat untuk menjadi pelita bagi umat. Sistem pendidikan menganut sistem Pondok Modern Gontor dan Pondok Pesantren Salaf (tradisional). Hal ini bertujuan agar para lulusannya kelak mampu memiliki kemandirian dan kedisiplinan yang tinggi dengan tetap menjaga nilai-nilai kedaerahan, dimana dia tinggal dan bermasyarakat. Sehingga dimanapun para alumninya berada, ia dapat menjadi pelita bagi masyarakat sekitar.
E. Sistem Pendidikan Dan Metode Pembelajaran

Pendidikan di Pondok Pesantren Attanwir pada awal perintisannya adalah diniyah, mengakji kitab-kitab kuning. Tahap berikutnya berkembang dengan didirikan sekolah formal yang bernama Pendidikan Guru Agama (PGA). Lalu berkembang menjadi Madrasah Mu'allimin Al-Islamiyah (MMI) dengan masa belajar enam tahun. Berkiblat pada KMI (Kulliyyatul Mu'allimin Al-Islamiyah) Pondok Modern Gontor dengan masa belajar yang sama.
Berikutnya berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah Al-Islamiyah, tiga tahun dan Madrasah Aliyah Al-Islamiyah, tiga tahun. Sesuai dengan kurikuilum Departemen Agama. Hingga saat ini bentuk ini tetap dipertahankan. Dengan ditambahkan pelajaran mengaji kitab-kitab kuning dan pendidikan berorganisasi. Sistem pendidikan tetap mengacu pada Gontor dengan kurikulum lokal, ditambah kurikulum pemerintah untuk ujian nasional. Ditambah dengan mengaji kitab kuning, sebagai muatan pondok pesantren salaf.
Dalam  pelaksanaan sistem pendidikan, sebagai lembaga pesantren, sistem tradisional yang masih relevan dengan kondisi dan situasi sekarang tetap dipertahankan, sedangkan sistem modern yang dipandang lebih baik juga diterapkan, jadi ada perpaduan antara sistem tradisional dan sistem modern. Demikian juga dengan kurikulum yang dipakai merupakan perpaduan antara kurikulum pemerintah (Departemen Agama) dengan kurikulum pesantren, dalam arti pelajaran dalam bidang agama, disamping kurikulum ala pesantren modern Gontor juga tidak ditinggalkan.[12]
Metode pembelajaran dibagi menjadi dua:
a.Formal
            Dalam hal ini terdiri dari
1. Raudhotul Adhfal (RA) selama 2 tahun.
2. Madrasah Ibtida’iyah (MI) selama 6 tahun.
3. Madrasah Tsanawiyah (MTs) selama 3 tahun.
4. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) selama 3 tahun
5. Madrasah Aliyah (MA) selama 3 tahun.
6. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) selama 4 tahun.
            Karena mengikuti kurikulum Depag RI, maka sistem belajar mengajar tidak berbeda dengan lembaga- lembaga pendidikan formal umumnya. Hanya saja ditambah dengan muatan- muatan keagamaan yang lebih banyak seperti mengkaji kitab- kitab kuning yang disesuaikan dengan tingkatannya. Misalnya pada santri Madrasah Aliyah terdapat mata pelajaran kitab- kitab Kuning (klasik) seperti Tafsir Jalalain, Riyadhus Sholihin, Nashoihul Ibad dan lain- lain. Sedangkan pada santri MTs ada mata pelajaran kitab Aqidatul Awam, Ta’limul Mutallim, Ilmut Tajwid dan lain- lain.
            Dalam metode pembelajaran mata pelajaran agama dan kitab- kitab kuning, pengajar memakai kurikulum pesantren yakni doktriner dan setiap santri harus menghafalkan setiap kali pertemuan. Selain buku-buku untuk kalangan Attanwir sendiri, buku- buku seperti Fiqih, Aqo’id (Usuluddin), Ilmu Tajwid, dan lain- lain banyak yang mendatangkan dari Pon.Pes Modern Darussalam Gontor. Selain itu, banyak pengajar yang berasal dari alumnus  Pon. Pes Darussalam Gontor. 
             Berkiblat pada sistem Gontor, apabila ada santri baru yang hendak masuk di Madrasah Aliyah (MA) Attanwir, dan santri tersebut bukan alumnus Mts Attanwir sendiri (dari lembaga lain) maka akan menempuh MA selama 4 tahun. Santri tersebut tidak langsung masuk kelas 1 MA tetapi masuk pada kelas Intensive selama 2 tahun. Santri baru tersebut akan mendapat pengajaran yang lebih eksrta agar siap ketika dicampurkan dengan santri- santri yang berasal dari Attanwir sendiri. Baru ketika lulus kelas Intensive maka akan dicampur dengan santri- santri lain di kelas 2 MA.[13]
b.Nonformal
1. Penagajian al Quran dan kitab kuning
            Dalam hal ini waktu pelaksanaan di luar jam sekolah dan kitab- kitab yang dikaji dibagi berdasarkan tingkat sekolahnya di Madrasah Attanwir. Berikut kitab- kitab yang dikaji dan waktunya.
- Setelah Shubuh
Santri Kelas 1-2 Mts belajar ilmu Tajwid
Santri Kelas 3 Mts/ 1-3 Aliyah/ Mahasiswa/ Umum belajar kitab Ibnu Aqil, Jurumiyah ( Kitab tergantung kesepakatan Ustadz dan santri)
- Setelah Ashar
Semua santri belajar mendengarkan Mauidhoh Hasanah dari Pengasuh.
- Setelah Magrib
Santri kelas 1-2 Mts belajar Risalatus Safiyah, Aqidatul Awam.
Santri kelas 3 Mts/ Aliyah/ Umum belajar kitab Fathul Qarib, Fathul Mu’in.
- Setelah Isya’
Semua santri belajar bersama di Masjid untuk persiapan mata pelajaran besok di Madrasah (sekolah).[14]
2. Pendidikan kemasyarakatan.
            Pendidikan kemasyarakatan yang diberikan pada santri Ponpes Attanwir dengan tujuan menumbuhkan jiwa peduli masyarakat, dan bagaiman cara berbaur dan terjun langsung di masyarakat. Pendidikan kemasyarakatan antara lain berupa;
- Santri Siaga, merupakan Organisasi santri Attanwir berada di bawah naungan LKSM (Lembaga Kesehatan Santri dan Masyarakat) Attanwir. Disini para santri dididik langsung dengan cara memberikan penyuluhan kesehatan di desa-desa dan pondok pesantren lain. Memberikan bantuan bagi korban bencana alam seperti banjir yang setiap tahun merusak beberapa desa di Bojonegoro dengan cara mengalang dana dan terjun langsung membantu dengan tenaga dan pikiiran.
- Setiap tahun ada program TAT ( Tadribul Amal wa Ta’lim) yang diwajibkan bagi seluruh kelas 3 Aliyah. Disini merupakan KKN para santri Attanwir, selama 1 bulan Ramadhan penuh disebar di desa- desa pelosok dengan dibagi menjadi kelompok- kelompok yang masing- masing beranggota 8 anggota. Para santri secara langsung diberi tugas bermukim di desa tersebut, mengajar di lembaga pendidikan MI/SD, mengajar Diniyah siang di TPQ/TPA, dan memberi kultum pada Sholat Tarawih.[15]
- Seminar dan Training pada waktu- waktu khusus.
3. Pendidikan Bakat dan Minat.
            Dalam hal ini santri Attanwir disediakan ekstrakulikuler seperti kursus Menjahit, Kursus seni Rupa, Media Pers Santri (Al- Hidayah), ASKAR (Asosiasi Kaligrafer Attanwir), Teater, Banjari dan Hadraoh, Paduan Suara, Qiro’ah, ALC ( Attanwir Language Centre) pengembangan bahasa Arab dan Inggris, Muhadhoroh, dan masih banyak lagi Organisasi dan kusus unutk menegembangkan minat dan bakat santri.   
           
F. Kondisi Tahun 2007- 2009
            Pada tahun ini ponpes AtTanwir mengalami kemajuan yang sangat pesat . Hal ini terlihat dari kelengkapan sarana dan prasarana belajar  mengajar di ponpes AtTanwir. Selain itu juga terlihat kemajuan dibidang akademik, dengan di bukannya SMK (jurusan otomotif dan computer) khusus untuk santri putra.
Pada tahun 2007jumlah santri putra dan putri yang bermukim di ponpes AtTanwir ada 3300 santri yang terdiri dari :
1. Raudhotul Adhfal
2. Madrasah Ibtidaiyah
3. Madrasah Tsanawiyah
4. Madrasah Aliyah
5. SMK
6. Program Takhashus
7. Majlis Ta`lim

~Jumlah siswa yang mengikuti ujian Negara tahun ajaran 2006/2007
1. Madrasah Ibtidaiyah 26 anak lulus 100%
2. Mts 462 anak lulus 100%
3. Madrasah Aliyah 400 anak lulus 100%

~jumlah tenaga guru dan karyawan ada173 orang

~Lain – lain
 1. Laboratorium Computer
 2. Koperasi Santri
 3. Perpustakaan
 4. Ruang multi media
 5. Laboratorium IPA
 6. Pasukan Khusus Pramuka Attanwir (PASUSKA)
 7. Attanwir Language Center (ALC)
 8. Assosiasi kaligrafi AtTanwir (ASSKAR )
 9. Santri Siaga
10.Percetakan
11.Kursus – kursus Ketrampilan
12.Organisasi AtTanwir (OSA )
13.Palang Merah Remaja (PMR)
14.Attanwir Ruqyah Centre (ARC)
15. Persatuan Pelajar Madrasah (PPM).[16]

            Pada tahun 2009 Pondok pesantren at Tanwir resmi membuka STAI ( Sekolah Tinggi Islam) attanwir, yang terdiri dari 2 jurusan; Ekonomi Syariah dan Bimbingan Konseling. Mendirikan media dakwah Radio FM Suara Attanwir. Selain itu terus berusaha memperbaiki kualitas, sarana dan prasarana.








PENUTUP


          Pondok Pesantren Attanwir yang terletak di desa Talun kecamatan Sumberrejo kabupaten Bojonegoro didirikan oleh seorang Kiyai bernama KH. Muhammad Sholeh sekitar tahun 1933 Masehi. Bermula dari kegiatan belajar mengajar di musholla kecil yang telah dipersiapkan oleh pamannya H. Idris. Pada masa mudanya KH. Muhammad Sholeh menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama Islam ke berbagai daerah. Sesuai dengan namanya “Attanwir”, yang berarti bersinar atau memberi sinar, masyarakat di desa Talun yang semula buta dengan Islam sedikit demi sedikit mulai sadar pentingnya mencari ilmu. Seiring dengan perkembangan zaman, dengan semakin besarnya kepercayaan dan dukungan dari masyarakat pendidikan di musholla kecil berkembang menjadi pendidikan formal mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai Madrasah Aliyah (MA) dan dilanjutkan dengan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) program Takhasus. Pada tahun 1992 beliau wafat dan kepemimpinan pondok pesantren yang memadukan antara sistem modern dan tradisional Ala Ahlus Sunnah Wal Jamaah ini diteruskan secara turun-temurun oleh putra beliau, yakni KH. Sahal Sholeh. Pada tahun 2006 KH. Sahal Sholeh wafat dan digantikan oleh putra beliau KH. Ali Chumaidi Sahal hingga saat ini.































DAFTAR PUSTAKA


Rochidin, Wahab. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta, CV, 2004.
Sahal, Rofiq. Hassul Hanin: Pondok Pesantren Attanwir. Bojonegoro: Banyu Biru, 2007.
Tim Penyusun. Attanwir Shiny: Album Kenangan Alumni 2009. Bojonegoro: Attanwir  Press, 2008.
Zubaidi, Habibullah Asy’ari. Moralitas Pendidikan Pesantren. Yogyakarta : LKPSM, 1996.




[1] Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta, CV, 2004) hal.153
[2] Tim Penyusun, Attanwir Shiny: Album Kenangan Alumni 2009, (Bojonegoro: Attanwir Press, 2008) Hal. 11
[3] Ibid.
[4]  Asy’ari, Zubaidi Habibullah , Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta : LKPSM,1996) hal. 10
[5]  Rofiq Sahal, Hassul Hanin: Pondok Pesantren Attanwir, ( Bojonegoro: Banyu Biru, 2007), Hal. 4
[6]  Ibid, Hal. 5
[7]  Rofiq Sahal. Hal. 6
[8]  Ibid.
[9]  http://www.attanwir.or.id/page.php?lang=id&area=static&kategori=&child_kategori=0
[10] Tim Penyusun, Hal. 13
[11]  Rofiq Sahal, Hal. 8
[12]  Tim Penyusun, Hal. 15
[13]  Tim Penyusun, Hal. 17
[14]  Ibid.
[15]  Ibid, Hal. 18
[16]  http://www.attanwir.or.id/page.php?lang=id&area=static&kategori=&child_kategori=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar